Betapa lama aku tak melihatmu. Berapa lama aku tak menemuimuTapi aku harus berkata.Â
Pergi, pergilah, biarlah aku di sini sendiri tanpamu
Kan kurawat semua kitabmu, album potretmu, semua album lagu kesukaanmu,Â
seluruh kenangan tentangmu
Pergilah dalam damai, …
Aku selalu menyeduhkan kopi tubruk kesukaanmu
Membaca selembar puisimu, agar kelak kau mampu kembali.
Â
Kau tak akan percaya,Â
kakiku retak dan lumpuh, tangankupun lemah dan lunglai karena kepergianmu itu.Â
Masih teringat dalam ingatanku, kau menuliskan sesuatu untukku
Tulisan yang membuatku terpaku, membisu
Kamu mengatakan ingin membeli sebidang tanah untuk bertanam seperti yang aku lakukan,
kamu ingin menghabiskan sisa hidupmu bergelut dengan bau tanah dan dengus sapi ternakmu.
Â
Sahabatku, jika kau melihat Anggrek bermekaran,Â
artinya aku tengah menikmati segala keajaiban di tengah hutan kecil ituÂ
Memandangi kelopaknya yang indah, mencium aromanya yang lembut menenangkan.
Percayalah, aku sedang belajar meditasi, belajar kontemplasi dan berefleksi, belajar kokoh berdiri.
Agar aku merasa kuat tanpamu
Tapi aku masih saja berteriak lantang, ketika aku ragu menirukan vrikshasana sepertimu
Pun airmataku mengalir deras, bila kupandang fotomu di dinding suram itu
Terkadang dinding ini berguncang hebat seperti gempa
Tapi guncangan itu membuat aku yakin bahwa kita sangat dekat dengan maut
Terbanglah, Â meninggilah kau sahabatku
Tadi malam aku bermimpi, seseorang mengetuk pintu
Aku bukakan pintu
Aku melihat wajahnya, tapi tak jelas wajah siapa, Â hanya aku ingat itu suaramu
Aku jabat tanganmu, aku merasakan eratnya genggaman tanganmu.
Aku rangkul kamu, aku mengenali hangatnya dekapanmu.
Aku tak mampu menghancurkan sosok manusia baik dalam lukisan ingatanku
Bukankah bendera kuning, papan kayu, kapas putih dan beraneka bunga hanya sebagai penanda
Semua itu adalah rambu menuju rumahmu?
Â
Aaah, lukisan dalam dekapanku lembab, dan basah sekarang (mugkin karena airmataku atau hujan yang tak kukenali ?)Â