Simbol ini memang warisan dari nenek moyang atau dari mbah buyut secara turun temurun. Padahal binatang itu harganya sangat fenomenal sekali saat ini, Karena diyakini bisa menyembuhkan penyakit HIV. Sehingga tidak seperti dulu, hampir setiap rumah pasti dihuni oleh binatang ini.
Bu kanjeng dan Pak Kanjeng setelah bosan nonton TV yang isinya debat maning debat maning, mereka pilih mematikan TV itu dan leyeh leyeh di teras. Mereka pun ngobrol ngalor ngidul ketika keheningan malam itu terusik dengan terdengarnya suara tokek tokek Pak Kanjeng yang dibudidayakan di kandang khusus di samping rumah.
Kalau bu kanjeng dan Pak Kanjeng berandai andai tokek tokek itu laku ratusan juta, sedang Mbah buyutnya dulu, berandai andainya dengan suara tokek yang berhenti ssuai harapannya yaitu “Sugih”.
Berandai andai boleh saja. Sekedar menggelorakan semangat hidup.Mau jadi apa besuk, terserah pemilik angan tersebut. Nah, kadang untuk menguatkan keyakinan nasib biasanya orang mencari rujukan. Kalau biasanya kedukun atau orang pintar, mbah buyut cukup dengan bertanya pada tokek.
Ketika tokek lagi asyik bernyanyi ia akan memasang dua simbol kehdupannya. Mlarat sugih mlarat sugih, begitu brulang-ulang tiap jeda nyanyian tokek..”Tekeeek… sugih! tekeeek…mlarat”. Akhirnya iapun menemukan jwbn yang tak mengecewakan dengan mendapatkan akhiran sugih. Gembira dan lega rasanya. Pastilah itu ramalan jitu dari sang tokek buatnya. Namun rupanya rasa lega itu tak begitu lama.Ternyata tokek tersebut belm menyudahi nyanyian, sekedar jeda yang lebh panjang untk mghirup nafas..”.keeeek..”.
Kasian deh mbah buyut, sudah gembira sugih dan bahagia akan tiba ehhhhhhhhhhh, akhiran nyanyian tokek itu tak sesuai dengan harapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H