Mohon tunggu...
Sri Sugiastuti
Sri Sugiastuti Mohon Tunggu... -

Saya seorang Muslimah, pemilik http//astutiana.blogspot.com.Nenek dari 3 orang cucu, mengajar di SMK Swasta Surakarta. Punya passion menulis dan berbagi kisah hidayah dari orang-orang yang ada di sekitar saya. Tidak ada kata terlambat dalam belajar, dan amat sangat berharap mendapat kemudahan dalam menggapai ridha Allah. Mempunyai moto bahwa “Hidup adalah berjuang untuk taat pada aturan Allah sampai ajal menjemput” Punya obsesi berdakwah lewat tulisan. Kontak person 085728304241 atau akun fb. http://www.facebook.com/astutiana.sugiastuti. twitter@astutianaM ...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kidung Hidupku (9)

21 Juni 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2013/06/21/kidung-hidupku-8-570775.html

9. Jodohku

Marwoto sudah bersiap diri menuju kantor, ketika dia teringat ada sesuatu yang tertinggal di meja kerjanya. Dia bergegas mengambilnya. Dahinya berkerut mengingat betapa banyak pekerjaan yang harus dikerjakan hari ini. Padahal kondisinya kurang fit. Semalam dia hampir tidak tidur, karena Candra badannya panas dan gelisah, sebentar, sebentar terbangun. Marwoto tidak tega membangunkan mertuanya yang sedang tidur nyenyak. Seharian beliau sudah mengurus Rangga dan Candra. Sebelum meninggalkan rumah Marwoto berpesan pada ibu mentuanya.

“ Ibu, tolong jangan lupa setelah sarapan Candra harus minum obat. Kalau suhu badannya masih panas, saya dikabari Bu. Panasnya sudah tiga hari dan obatnya hampir habis. Jadi mungkin nanti sore akan saya ajak ke dokter.”

Hampir satu tahun Marwoto menduda istrinya meninggal karena terkena kanker otak. Dia bersyukur masih ada mertua perempuan yang bisa mengasuh ke dua anaknya. Terlintas dalam benak Marwoto ingin segera mencari pendamping lagi. Tapi mampukah dia melupakan begitu banyak kenangan indah yang pernah dilalui bersama Dewanti istrinya. Dewanti seorang wanita penyabar, nrimo dan setia.

Siapa yang bisa memprediksi, jodoh, lahir, dan mati. Semua itu ada dalam genggaman Allah. Begitu juga dengan jodoh Marwoto dan Dewanti yang hanya berusia 5 tahun. Marwoto harus mengikhlaskan kepergian istrinya setelah berjuang 6 bulan melawan kanker otak. Sudah banyak dana yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan itu. Manusia wajib berusaha dan berdoa, sedang Allah lah Maha Penentu.

“ Kalau mama sudah tidak ada, papa harus secepatnya menikah lagi, papa kan ingin punya anak perempuan. Mama yakin papa pasti bisa mendapatkan pengganti mama. Insyaallah pengganti mama akan menyayangi papa dan anak anak.” Selalu saja pesan itu menjadi pertimbangan Marwoto untuk segera menikah lagi.

Sebenarnya saat ini Marwoto sedang pendekatan dengan seorang gadis yang usianya hampir sama dengannya. Dia seorang bidan yang kariernya cukup mapan. Bila diperhatikan sepintas, mirip almarhumah istrinya. Kemiripan ini lah yang meragukan hatinya. Karena Marwoto terlalu mencintai istrinya, dia takut kecewa bila gadis itu tidak memiliki sifat seperti Dewanti. Kalau diijinkan Tuhan dia ingin mencari pengganti Dewanti yang bisa menyanyangi dirinya dan anak-anaknya, tapi juga seorang wanita yang bisa menyemangati kariernya.

Kerepotannya semalammenghadapi anaknya yang sakit, membuat angan Marwoto berkhayal, seandainya Dewanti masih ada tentu dia bisa mengatasi semua ini. Berbagi tugas mengasuh dan membesarkan anak anak.

“Sebaiknya aku segera mencari pengganti Dewanti. Aku tidak bisa bertahan seperti ini terus menerus. Aku bukan malaikat yang sanggaup menahan nafsu dan hasratku yang lain. Mungkin aku bisa memenuhi kebutuhan biologisku dengan berbagai alternatif yang ada. Tapi jelas beda kalau aku lakukan pada istriku yang sah.” Selalusaja perang batin itu mengusik hatinya. Tanpa disadari mobilnya sudah memasuki halaman kantor.

Marwoto memasuki ruang kantor, hampir semua stafnya menyalami. Dia pemilik CV migas. CV yang dirintis bersama Dewanti. Saat ini mulai berkembang pesat. CV itu mempunyai rekanan dengan Pertamina dan beberapa Pabrik yang memerlukan residu. Marwoto paham benar dengan bisnis yang dilakukan. Sehingga CVnya banyak dilirik pabrik pengguna residu. Untuk bisa tetap eksis dan jadi mitra Pertamina tidak mudah banyak trik dan dana yang harus dikeluarkan Marwoto. Intinya dia butuh modal besar. Solusinya pinjam ke bank dengan jaminan sertifikat rumah, SIUP . Dari mulai pinjaman awal yang tidak terlalu besar, dia bisa membeli sebuah truck tangki pengangkut residu.

Cara Marwoto menjalankan usahanya, sebenarnya bernuansa abu-abu, kadang dia menggunakan cara yang tidak ma’ruf. Banyak upeti yang harus dikeluarkan untuk memuluskan usahanya. Baik itu di bank, pertamina, atau pabrik pengguna residu.Pagi ini dia harus menyiapkan entertainment buat koleganya di bank. Beberapa voucher untuk perawatan tubuh di sebuah spa dan kebugaran yang cukup terkenal di kotanya.

Kebetulan Marwoto juga salah satu members dari spa itu. Dia rutin melakukan perawatan tubuh agar bisa tampil segar ketika bernegosiasi dengan rekanan bisnisnya. Selesai menjalankan perawatan. Dengan langkahnya yang elegant Marwoto menuju recepcionist sekaligus konsultan di spa itu. Dia berniat membeli beberapa vouchers yang akan diberikan pada rekanannya.

“ Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya bantu?” Diah menyapa Marwoto yang menuju mejanya di sudut ruangan.

“ Jeng, voucher perawatan yang paket Rp. 2.000.000. Saya minta 10 ya.! Saya bisa pelajari fasilitas dari paket itu?” Marwoto memandangi lawan bicaranya tanpa berkedip.

“Sepertinya dia orang baru di sini. Aku belum pernah melihatnya. Mengapa sinar matanya begitu teduh dan senyumannya membuat detak jantungku berhenti sesaat.. dan kembali berdetak tapi tidak beraturan. Apakah ada yang salah dalam diriku?” Hatinya bertanya.

“ Sebentar Pak saya siapkan,”jawab Diah tenang. Tangannya sibuk di laci mejanya mengambil brosur yang diminta Marwoto.

“Ini brosur yang memuat fasilitas dan kelengkapan spa yang kami miliki.” Kembali Diah menyodorkan brosur yang diminta Marwoto.

“ Maaf Bapak mau bayar cash, pakaikartu debit atau kartu kredit? Ini billnya, silahkan ke kasir.” Kalimat terakhir Diah membuyarkan lamunannya.

“ Oke Jeng terima kasih.” Sebelum menuju ke kasir Marwoto sempat melirik papan nama yang ada di dada kiri Diah. Marwoto mengeja nama itu “ Diah Ayu Lestari”

Marwoto kembali ke kantor melanjutkan beberapa pekerjaannya yang tertunda, dan menyerahkan voucher spa kepada sekretarisnya lalu mendektekan siapa saja yang akan diberi voucher itu. Marwoto malas makan siang di luar, dia menyuruh sekretarisnya untuk membelikan nasi gudeg dari restaurant “Sari”. Nasi gudeg itu salah satu menu favoritnya.

Sambil menikmati nasi gudeg yang disajikan Mirna sekretarisnya. Tanpa sadar bayangan Diah melintas di wajahnya.

“ Aneh mengapa sosok itu jadi menghuni otakku? Apa ada yang salah di benakku? Atau memang sudah saatnya aku mencari pengganti Dewanti? Aku jadi penasaran siapa itu Diah Ayu Lestari? Berani sekali dia singgah di hatiku.” Begitu banyak pertanyaan yang bergentayangan di hatinya.

Disudahi makannya, lalu Marwoto menggambil gadgetnya dan menelpon di seberang sana.

“ Hallo, met siang Pak. Han. Saya bisa minta tolong?” Marwoto membuka percakapnnya.

“ Hi, Pak Boss.! Apa kabar? Ada yang bisa saya bantu? Tadi ke spa ya! Maaf ngga sempat menyapa sedang ada tamu dari Jakarta.” Pak Han pemilik spa yang ditelpon Marwoto menjawab.

“ Di spa, saya melihat ada wanita cantik yang di meja receptionis itu siapa? Pegawai baru ya? Boleh minta nomer HP atau alamatnya ngga? Atau kasih saya bocoran tentang dia Pak. Han, kira kira orangnya gimana ya?” Marwoto langsung nyerocos ingin tahu info lengkap tentang Diah..

“ Hahaha.. Pak. Boss naksir ya? Saingannya banyak loh! Kalau info lengkapnya wani piro? Jawaban Pak.Han membuat Marwoto jadi penasaran.

“ Beres Pak. Han, don’t worry! Kapan kapan saya ajak hang out ke Karaoke atau café baru yang ada di jalan Slamet Riyadi?Silahkan pilih.” Marwoto paling lihai kalau bernego ria.

“ Oke, oke, nanti saya smskan alamat dan nomer HP Diah. Selanjutnya terserah anda.Tapi jangan katakan kalau info ini datangnnya dari saya. Nanti saya ambilkan data Diah dari bagian personalia yang menerimanya bekerja di sini.” Pak Han menyudahi pembicaraannya.

Marwoto gelisah menunggu sms dari Pak. Han.

“ Koq lama ya? Jangan-jangan Pak. Han tidak bersedia, dia hanya lips service saja. Supaya hatiku senang. Ah tapi, aku kenal benar siapa Pak.Hanmungkin kah dia tak maumembantuku? Aku sudah lama jadi members di spa miliknya. Langganan spa itu juga banyak yang datang karena rekomendasi dariku. Masa iya aku minta info tentang Diah ditolak.?”

“Yes, akhirnya sms itu datang juga.” Batinnya bersorak. Dibaca berkali kali no hp dan alamat rumah Diah yang tertera di layar hape nya.

“ Aku sudah dapat nomer hape Diah juga alamatnya, lalu selanjutnya bagaimana?” Tiba tiba Marwoto seperti orang bego, yang bingung harus berbuat apa. Sejak istrinya meninggal Marwoto enggan melibatkan perasaannya pada seorang wanita. Kalau toh dia kepepet hanya sebatas melayani kebutuhan biologisnya saja. Dia bisa pesan kapan pun dia mau.

Marwoto bingung bagaimana caranya dia menghubungi Diah. Lewat sms, telpon langsung, atau menemuinya di spa? Marwoto yang ambisius ingin secepatnya mengenal Diah lebih dekat.

“ Yang paling tepat bila aku bisa menemuinya langsung di jam istirahat, lalu mengajaknya makan siang dan bisa ngobrol bareng dilanjut pendekatan. Siapa tahu dia jodohku. Kasihan Rangga dan Candra juga mertuaku. Rumahku terasa sepi sejak Dewanti tiada.Ya aku harus mengejarnya semoga dia belum ada yang memiliki.” Jiwanya berharap sangat.

Ketika Marwoto merebahkan badanya di dipan, wajah Diah yang berlalu lalang di jiwanya, membuat Marwoto ingin hari segera menjelang .Dia ingin menemui Diah dan mengajaknya berkencan. Seperti yang biasa dilakukan bila hasrat birahinya membuncah. Bayangan nakalnya berkelana kemana mana sehingga tanpa disadari dia mimpi basah bersama Diah.

“ Ah aku harus mengajak Pa.Han untuk mengenalkan aku pada Diah. Aku tak ingin perkenalanku dengan Diah terasa kaku dan terlalu dipaksakan. Aku ingin yang natural. Sehingga tak begitu kelihatan niatku yang sebenarnya.” Sebelum tiba di spa Marwoto sudah menelpon Pak. Han dan menyambunya di lobi spa.

Marwoto mengulurkan tangannya, dan merangkul pundak Pak. Han. Sedang matanya menjelajah ke dalam ruangan terutama tempatdia bertemu Diah kemaren.

“ Kau mencari Diah?” Pak. Han langsung pada masalah inti.

Marwoto yang pikirannya terbaca oleh Pak.Han jadi tersipu malu.

“ Diah hari ini ngga masuk anaknya sakit. Bagaimana kalau kita menjenguknya di rumah sakit?” Pak. Han memberi penjelasan singkat.

“ Ah! Anak! Berarti Diah sudah berkeluarga. Pupus harapanku untuk memilikinya apalagi berjodoh dengannya.” Batinnya meronta.

Pak. Han melanjutkan pembicaraannya. “ Diah pegawai baru di sini. Belum banyak yang mengetahui siapa dia sebenarnya, Dia agak tertutup. Kalau di CVnya dia menuliskan statusnya menikah. Sebaiknya kita ke rumah sakit, mungkin nanti akan banyak info yang kita dapat tentang Diah. Ini pun kalau pak Boss berminat dan serius.”

“ Oke gimana baiknya aja. Kebetulan jadwal kantor ngga terlalu padat, jadi aku bisa ngatur waktuku.” Marwoto menerima saran yang diusulkan Pak.han.

Kedatangan Marwoto dan pak. Han di rumah sakit bertepatan dengan jam berkunjung. Terlihat kepadatan orang yang berlalu lalang antara yang keluar dan masuk, di tambah berderetnya pasien berobat jalan yang menunggu pemeriksaan di setiap Poli. Anak Diah dirawat di rumah sakit Negri yang terkesan kumuh dengan minimnya fasilitas dan pelayanan.

Anak Diah menempati bangsal klas 3 khusus anak anak. Dari kejauhan wajah Diah yang muram sudah tampak. Aya gadis kecil yang baru berusia 2 tahun lebih, tergolek lemas, dengan tangan diinfus, sedang di hidungnya terpasang slang oksigen yang membantu pernafasannya. Sesekali nafas Aya terdengar ngik ngok bagaikan biola yang dimainkan dengan nada sendu. Itu lah salah satu cirri penderita ashma. Mereka mengalami kesulitan ketika bernafas. Diah terkejut melihat kehadiran Pak. Han dan pria yang ditemuinya di meja kerjanya kemaren.

“ Mba Diah, ini kenalkan teman Bapak. Pak. Marwoto namanya. Dia salah satu members spa kita yang sudah cukup lama. Bapak juga sedang membujuknya supaya mau invest di cabang spa kita yang akan di bangun di Solo Baru.” Pak Han memperkenalkan Marwoto kepada Diah.

“ Saya Diah,Pak. Pegawai baru di spa nya Pak. Han.” Segera Diah melepas jabatan tangan Marwoto yang dirasakan menggetarkan jantungnya.

“ Ada maksud apa ya, koq Pak. Han mengajak pria ini ke rumah sakit. Aku kan pegawai baru, kalau hanya menjenguk Aya, dia bisa mewakilkan pegawai lain. Mengapa dia harus datang ke sini, di jam kerja dan mengajak pria asing pula.” Rasa penasaran Diah semakin bergelayut.

Pak.Han meletakkan parsel buah yang dibeli Marwoto. Lalu menanyakan penyakit yang diderita Aya. Rasa ingin tahu Pak.Han dan Marwoto mengenai Diah semakin menggebu. Mereka seakan memahami adanya sesuatu yang disembunyikan Diah dari orang yang baru dikenal. Diah memang menjaga jarak dan bersikap formal. Diah tidak ingin harga dirinya dilecehkan. Jadi dia harus bisa membuktikan bahwa dia bukan sembarang wanita.

Karena suasana di ruang Aya tidak terlalu nyaman. Tiba tiba Marwoto meyarankan agar Aya pintah di ruang klas VIP. Sehingga Diah bisa istirahat dan kesembuhan Aya tidak terhambat. Diah menolak halus saran itu.

“ Penyakit Aya tidak serius Pak. Sebentar lagi dia sembuh dan besok insyaallah saya sudah bisa masuk kerja. Dulu waktu di Surabaya Aya sering keluar masuk rumah sakit. Biasa penderita ashma. Tidak boleh lelah dan suasana hatinya harus terjaga.”

“Ya sudah Diah, kami tidak bisa memaksa. Tapi jangan sungkan, kalau kau membutuhkan sesuatu telpon kami ya.! Kami siap.” Pak.Han mengeluarkan kartu namanya, sambil memberi isyarat pada Marwoto agar menaruh kartu namanya di meja dekat Aya berbaring.

“ Terima kasih Pak. Doanya saja agar Aya cepat sembuh.” Hanya itu yang diucapkan Diah ketika kedua orang itu ke luar dari ruangan Aya.

Marwoto yang sudah membayangkan pertemuannya dengan Diah berjalan mulus ternyata luput. Tapi pertemuan itu justru membuatnya semakin penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh masalah yang dihadapi Diah.

Marwoto ingin menepis keraguan yang ada tentang Diah. Selepas magrib Marwoto mengunjungi Diah di rumah sakit. Dia ingin menaklukkan hati Diah dan mengenalnya lebih detail. Dia membawakan nasi box untuk makan malam yang dibeli di restaurant fast food.

Diah baru saja selesai menyuapi Aya. Dan sibuk meracik obat yang akan diminum Aya. Suara pintu berderitsecepat kilat Diah mengalihkan tatapannya dan menenangkan hatinya sambil berkata:

“Pak. Marwoto…apa ada sesuatu yang tertinggal? Sehingga Bapak harus kembali ke sini? “

“ Hatiku yang tertinggal di sisni Diah.” Batin Marwoto yang menjawab. Yang meluncur dari bibir Marwoto malah lain.

“Aku hanya ingin memastikan apakah anakmu besok sudah bisa pulang.” Marwoto balik bertanya.

“ Tadi setelah diperiksa dokter mengijinkan Aya pulang besok pagi. Tapi besok saya belum bisa masuk kerja. Saya harus mencari pengasuh Aya selama saya di kantor.” Jawab Diah lirih.

“ Ayahnya Aya mana? Apa tidak ada kerabat atau orang dekat di sekitarmu yang bisa dimintai tolong menjaga Aya selama kau bekerja?” Marwoto bertanya lebih detail.

Diah jadi galau. Saat ini dia butuh orang yang bisa diajak bicara untuk mendengarkan keluh kesah dan kegalauan hatinya. Sikap Marwoto yang santun dan tatapan matanya yang baru saja dirasakan, membuat Diah tanpa sadar mengeluar semua isi hatinya. Hati Marwoto terenyuh mendengar curhatan yang tidak disangkanya sama sekali.

“ Aku adalah wonder woman yang punya anak tanpa menikah.” Kalimat itu yang paling dingat oleh Marwoto dan membuatnya jatuh hati pada Diah.

Marwoto mengajak Diah ke rumahnya. Memperkenalkan Diah dengan Rangga dan Candra, juga mertuanya yang menjadi tanggungan hidupnya. Setelah marwoto menyampaikan niatnya untuk menikahi Diah disetujui oleh penghuni rumahnya. Baru lah Marwoto melamar Diah.

Diah memikirkan lamaran Marwoto diterima atau ditolak hanya pakai hati. Hatinya bisa menerima Marwoto, Aya juga sudah mulai akrab. Bukan waktunya lagi dia menutup diri dan egois. Aya butuh akte kelahiran selagi dia belum masuk sekolah semuanya bisa diaku bahwa Aya adalah anak Diah dan Marwoto. Diah juga butuh status. Status sebagai seorang istri sekaligus ibu dari tiga orang anak yang akan menjalani kehidupan yang baru.

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun