Mohon tunggu...
Srisugiarti 13
Srisugiarti 13 Mohon Tunggu... Lainnya - Orang Biasa

Manusia yang suka mencurahkan perasaan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Proses Menjadi Dewasa Part I

14 Januari 2025   16:11 Diperbarui: 14 Januari 2025   16:11 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sejak hari itu 10 Desember 2024 tepat sepulang aku merantau dari Semarang menjadi hari yang benar-benar mendewasakanku. Ibu aku adalah seorang pedagang hasil bumi. Beliau memetik berbagai tanaman hasil bumi, salah satunya melinjo. Pada 1 Desember 2024 pohon yang dipanjat ibu ternyata bagian akarnya sudah keropos, namun ibu tak menyadari akan hal itu. Suara retakan pertama yang dimunculkan oleh pohon itu tak membuat ibu merasa harus segera turun dari pohon, ia justru memilih untuk tetap berada di atas. Hingga saat suara gertakan kedua berbunyi pohon itu roboh dan menimpa kaki kiri ibuku.

Ibu aku memang seperti itu. Dia harus memenuhi kebutuhan keluarganya dan harus menanggung beban hutang, karena bapak aku sudah tak mampu tenaganya jika harus bekerja. Iya, ibu jadi tulang punggung keluarga. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara sekaligus anak yang paling bandel dan senang membangkang kata kedua orang tua saya. Satu tahun yang lalu aku sempat menduduki bangku kuliah di salah satu kampus  di daerah Kabupaten Pekalongan. Namun, karena kendala biaya aku harus berhenti untuk tidak melanjutkan kuliah itu.

Kakak pertama aku hanya lulusan SD, kakak keduaku lulusan SMP, dan aku yang bungsu ini alhamdulillah berhasil melanjutkan jenjang yang lebih tinggi daripada kedua kakakku. Ya, itu kata bapak. Bapak bercita-cita ingin menanam benih bagus di keluarganya biar nanti saat sudah tumbuh tinggal memetik buah yang bagus. Tapi bapak hanya menanam benih itu namun beliau tidak memberikan pupuk dan menyirami benih itu agar mampu tumbuh dengan baik. Aku ikhlas, aku bahagia, karena aku bisa menghidupi diri aku sendiri dan pendidikanku. Sejak kelas satu SMP aku membiayai diriku sendiri hingga kuliah ini, bapak bagian mengurus iuran saja.

Saat wisuda SMA bapak bilang "saya makasih sama kamu, di SMA saya cuma bayar pertama masuk itu bayar seragam". Saat bapak melontarkan kalimat itu ada rasa sedih dan bangga pada diriku. Sedihnya aku jadi tidak terlalu fokus lagi belajar, aku lebih fokus berjualan online agar tetap mendapatkan uang untuk membiayai hidup aku dan sedikit membantu orang tua. Di sisi lain aku  merasa senang karena di umurku yang masih muda sudah berani berjuang sendiri. Dulu saat aku MI-MTs aku masih menjadi juara kelas, mentok peringkat paling rendah itu peringkat 2. Tapi gak apa-apa namanya juga latihan jadi dewasa.

Kembali ngelanjutin cerita tentang kuliah aku. Di semester pertama bapak masih bisa membayarkan UKT ku sebesar Rp. 3.200.000 menjual kayu yang ada di kebun. Semester kedua aku sempat akan mengambil cuti karena bingung tidak ada biaya untuk membayar UKT itu. Namun, alhamdulillah Allah swt turunkan perotolongan-Nya melalui guru SMA ku. Saat itu aku bertemu dengan guru SMA ku yang sudah akrab di jalan raya, ternyata beliau kehabisan bensin. Kemudian aku tolongi guru itu, pak budi namanya. Beliau ngobrol denganku sebentar setelah aku membelikan bensin untuknya.Bertanya-tanya tentang perkembangan kuliahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun