Pernah matahari hanya terlihat setitik ketika itu
karena yang aku lihat hanya kegelapan dimana-mana
bahkan remang samar pun tampak buram
serumpun kembang terlibat dalam kelam
hanya setitik, itu pun lewat bola matanya
Pleburan kian muram ketika ditemukan sebongkah daging tanpa darah
menggelinding pada papan-papan reklame untuk diperebutkan pemuda-pemuda tengil
menyerupa bakso tanpa kuah dalam kubangan saos yang amat asam
siap disantap anjing-anjing liar yang menggonggong sepanjang malam
dan setitik cahanya itu, tetap kau simpan di bola matamu saja
Ketika aku mencoba bertanya, kau bungkam mulutku dengan handuk basah berbau floral
hingga aku mengira ada di kamar bersama Noah Mills
kepayang aku mabuk, namun sulit untuk  menahan debaran-debaran liar
sungguh cahanya itu hanya milikmu
Para tetua mencoba mencari tangga ke langit, mengintip cahaya yang dikira bersembunyi di balik satelit
mereka tak tahu, dimana Engkau memeram
hingga kami pasarah mengaku hamba
bertaubat dan memohan Ampunan-Nya
menunggu cahaya segera kembali menelisik bebatuan di Jalan Pleburan
Kini biasmu memudar, mencair mengaliri selokan tanpa tutup
Pleburan, Kertanegara, Erlangga telah menutup cerita
Kita bukan lagi bagian, karena terpaksanya terpaksa  aku congkel lagi bola matamu
sudahi, tak perlu mengenang dan terkenang
Lagi !
Kudus, 04 Desember 2024
sumber foto :Â Kompasiana.comÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H