"Dari rasa turun ke hati", begitu ungkapan yang aku racik sendiri untuk menyemangati diri sendiri agar tidak bosan dan capek ketika harus pagi-pagi bangun untuk menyiapkan bekal makan siang buat suami. Entah aku dianggap  kuno, pelit atau apalah, kutakkanpeduli, aku suka saja melakukannya.
Karena nyatanya suamiku selalu senang dan memakan bekal yang selalu aku bawakan saat beliau hendak berangkat kerja.  Padahal kalau dipikir-pikir mending menyantap makanan yang  hangat saat dihidangkan  kantin di tempat kerja. Namun kenyataannya suamiku lebih memilih bekal yang sudah aku masak dari jam 3 pagi.
 " Masakan kamu itu paling enak buatku, karena kamu masak dengan cinta, mengiris bawang dengan cinta dan menumisnya juga dengan cinta, jadi  masakan yang lain lewat...", begitu gombalan suamiku saat aku tanya kenapa lebih suka makanan bekal daripada beli di kantin.
Iya, dari jam 3 pagi karena suami harus berangkat kerja jam setengah lima. Sayur, ikan dan camilan yang sudah aku siapkan dan kuracik malam harinya disimpan di kulkas dulu, baru setelah menunaikan sholat sepertiga  malam akhir kegiatan di dapur yang mengasyikkan dimulai,  kadang membuat spot jantung  takut gagal, gosong atau tak cukup waktu. Memasak cepat, kilat, enak dan harus selesai  tepat waktu. Semua itu harus aku lakukan agar suami nyaman bekerja.
Pernah pada suatu ketika aku berpikir praktis, "Ah biar saja lah suami ikut makan kantin kan lebih enak masakannya, lebih hangat dan fresh", eh ternyata hal itu justru menjadikan suami tidak makan seharian.
Kisah yang aku  ceritakan ini terjadi  saat kami tinggal di sebuah  desa  di  Kalimantan Selatan, suami bekerja di perusahaan pertambangan. Lokasi pertambangan  atau job site  ada  di pedalaman hutan jauh dari perkampungan penduduk.  Untuk menuju lokasi kerja ada bis antar jemput karyawan yang sudah ditentukan di titik-titik tertentu, karena kendaraan umum baik itu sepeda motor maupun mobil tidak bisa masuk ke area pertambangan karena berbahaya dengan lalu- lalang kendaraan alat berat , jadi keamanan atau sefety harus diutamakan selain untuk keamanan lahan  pertambangan itu juga.
Dengan kondisi seperti itu tidak mungkinlah ada orang luar selain karyawan yang bisa bebas keluar-masuk  job site.  Termasuk juga pedagang makanan tak ada satu pun yang bisa masuk untuk berjualan di sana. Jadi untuk makan siang, jajan, rokok karyawan harus menyiapkan sendiri. Hanya minuman saja yang tersedia di tempat berkumpul karyawan saat istirahat. Bagi mereka yang tidak ada yang menyiapkan bekal bisa pesan di warung-warung tertentu dan satu jam sebelum  saat istirahan ada bis-bis  karyawan yang akan mengambil  pesenan mereka dan membawa masuk ke  area tambang sesuai job site pemesannya.
Seperti  yang aku ceritakan di atas , saat suamiku ikut pesan makanan di warung, entah si warungnya yang salah memasukkan pesanan tidak ke bis yang tepat,  memang tidak dibuatkan,  atau  sudah diambil temannya yang beristirahan lebih awal yang jelas bungkusan nasinya nggak ada. Dan bis juga tidak mungkin kembali lagi ke warung untuk menanyakan pesanan yang kurang. Jadi lah hari itu suamiku lapar seharian. Padahal pekerja tambang apalagi operator alat berat itu adalah pekerja  keras yang butuh banyak energi. Kerja dari  habis subuh sampai maghrib tanpa makan begitu lah rasa.
Sejak saat itu, aku selalu berusaha untuk memasak sendiri  untuk sarapan bekal makan siang, walau dengan masakan yang sederhana dan seadanya.  Kata  suamiku, itu lebih lezat  dan nyaman.
Soal memasak  dini hari bukan hal yang mudah juga buat kami saat itu. Tinggal di pedalaman dengan kondisi rumah panggung dari kayu, dengan peralatan yang sederhana memasaknya pun menggunakan  kompor minyak tanah dan tungku kayu, ditambah listrik yang sering padam pasti membuat siapa pun ogah-ogahan untuk turun ke dapur.