Saat aku kecil keadaan perekonomian tidaklah sebagus kondisi saat ini, mempunyai mukena sendiri bagi anak-anak seusia 7-10 tahun adalah hal yang istimewa. Bukan setiap keluarga muslim yang mempunyai anak perempuan bisa membelikan mukena anaknya, termasuk orang tuaku yang saat itu berprofesi sebagai pegawai negeri biasa. Saat itu mukena belum menjadi target pembelian orang tuaku. Tahu sendiri kan kondisi ekonomi pada era tahun 70 an apalagi hanya pegawai negeri rendahan. Â Kita bisa makan komplit 3 kali sehari dengan lauk dan sayur yang lengkap adalah hal yang patut disyukuri sekali, mengingat jumlah anggota keluarga yang banyak. Jadi saat itu kami bukan hanya hidup bersama keluarga inti saja ( yang jumlah bersaudara juga banyak) masih ditambah bulek, simbah, sepupu, dan kerabat lainnya yang memang menjadi tanggungan orang tuaku.
Mempunyai mukena termasuk hal yang sangat aku idam-idamkan saat mulai belajar sholat, karena saat itu rumahku tak jauh dari masjid maka aku sering ikut berjamaah di masjid sambil melatih gerakan-gerakan sholat dengan melihat mereka yang lebih tua.
Saat Ramadan tiba,  hal yang paling menyenangkan adalah  saat  sholat tarawih, meskipun aku tidak full ikut sholat tapi bisa datang ke masjid bertemu dengan teman-teman seumuran tentu lebih banyak bisik-bisik dan cekikikan dari pada ikut sholat. Sehingga kami ditaruh di shaf paling belakang, karena masjidnya kecil kami diberi tempat di halaman dengan menggelar tikar.
Oh iya, aku jadi ingat masjid-masjid di kampung saat itu rata-rata kecil-kecil, ada ruang terpisah untuk jama'ah perempuan yang juga dipergunakan untuk sekolah madrasah kalau sore hari. Pada waktu itu namanya belum TPQ namun madrasah saja, karena selain belajar ngaji kami juga belajar ilmu agama. Waktu belajarnya biasanya dari jam 2 siang sampai menjelang maghrib, dengan bergantian ruang kelas, yang hanya ada dua itu pun sebenarnya ruang sholat jama'ah perempuan yang dibagi dua dengan tirai kain. Jadi saat bulan Ramadan sekolah madrasah libur full sebulan, karena ruangannya tidak boleh dipergunakan.
Mukena dari Kain Jarik
Pada era tahun 70-an, ibu-ibu belum tren menggunakan daster bila sedang di rumah, mereka memakai kain jarik dan baju seadanya atau kebaya sederhana. Jadi saya bisa pinjam kain jarik ibu untuk dijadikan mukena tanpa jahitan hanya memakai peniti sana-sini agar bisa berbentuk seperti mukena, karena saat itu tubuhku masih kecil jadi cukup saja 1 kain jarik itu itu menutup tubuh seperti mukena.
Cara pakainya, tepi ujuk kain dipakai seperti kerudung dahulu dan dikasih peniti, kemudian dijulurkan ke bawah, semua direkatkan dengan peniti sampai bawah. Agar tangan bebas bergerak namun tetap tertutup pakai saja baju lengan panjang.
Cukup sederhana sekali namun sudah membuatku senang bisa ikut shalat tarawih di masjid. Pada waktu itu juga tak perlu malu, karena banyak anak seusiaku juga memakai mukena dari jarit seperti aku.
Menginjak kelas 5 atau 6 SD aku baru mendapat mukena dari ibu yang terbuat dari kain sisa seragam yang murah kemudian dijahit sendiri oleh ibuku, tak apalah tapi itu sudah membuatku senang. Karena aku sudah berani datang shalat  tarawih lebih awal dan ambil shaf sholat tidak lagi di belakang, jadi bisa lebih khusuk tidak banyak mainnya seperti saat memakai mekena dari kain jari lagi.
Menginjak SMP, bapak baru membelikan aku mukena di pasar yang sudah jadi, jadi bukan mukena buatan ibu dari kain seadanya lagi. Karena itu aku semakin rajin beribadah shalat di masjid bahkan bukan hanya shalat tarawih saja, namun juga shalat lima waktu.