Ajeng segera membenamkan diri pada tumpukan bantal di ranjangnya, untuk menangis sejadi-jadinya. Begitu punggung lelaki yang mengisi ruang hatinya berlalu.
Dua tahun dalam ketidak pastian dan tuntutan berlebihan dari lelaki bangsawan itu memporak-porandakan cita-citanya.
Janjinya omong kosong, posisi dan terbatasnya waktu selalu menjadi alasan. Namun Ajeng tak bisa memilih untuk meninggalkan lelaki itu. Kekuasaan dan kekuatannya bisa membunuhnya kapan saja.
Ajeng hanya bisa menari di rumah sendiri. Kini dia bukan lagi Tandak tersohor, demi cinta yang tak pasti.
Sejak itu, setahun Ajeng mengubur diri dan kini dia menggelar pagelaran di alun-alun. Untuk melawan kesewenangan dengan segala resiko.
#FiksiMini100kata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H