Seminggu yang lalu sekitar jam 10 pagi, kami dikejutkan dengan chat adikku di grup Whatsapp keluarga.
"Innalilaihi Wainnal ilaihi Rojiun, Mbak-Mas ini Mas Har suamiku meninggal " , chat singkat ini baru terbaca olehku hampir setengah jam kemudian. Karena saat itu aku yang sedang sibuk dengan pekerjaan rumah membiarkan saja bunyi, tang-ting-tung smartphone yang memang sudah biasa begitu. Karena banyak WAG yang memang sering ramai chatnya. Lain dengan WAG keluarga yang cenderung sepi.
Selesai pekerjaan baru sempat buka smartphone lagi, mataku hampir tak percaya membaca chat dari adikku. Karena kami tinggal satu kota dan sebelum tak pernah ada kabar dan cerita kalau dik Haryono (suaminya) yang berusia 52 tahun itu sakit.Â
Tak lama kemudian aku lihat banyak telpon masuk yang tak terjawab dari saudara-saudaraku yang lain. Kita saling bertanya dan memastikan, sebelum akhirnya menghubungi adikku yang menulis chat itu sendiri.
Sambil menangis dia cerita kalau posisi masih di RS untuk mengurus kepulangan jenazah suaminya. Dan membenarkan kalau suaminya memang meninggal.
" Untuk ceritanya nanti saja, tolong uruskan rumah untuk menyambut kepulangan jenazah dan pemakamannya. Tidak usah datang ke rumah sakit karena peraturan RS ketat dengan adanya pademi Covid ini."
Kami pun bergegas ke rumahnya dan sebagian lagi mengurus penyiapan pemakaman di tempat pemakaman yang dekat rumah keluarga.
Ternyata sampai di rumahnya, para tetangga dan teman perkumpulan pengajian keluarga adikku sudah menyiapkan semua, memasang tenda dan menyiapkan untuk pemandian jenazah juga.
Tak lama kemudian adikku sudah pulang dari RS diantar salah seorang anaknya, sementara anaknya yang lain mendampingi jenazah bapaknya sampai pemulangan kemudian.
Begitu jenazah tiba, pecah tangis anak dan istrinya kembali pecah. Namun kami berusaha menahannya, agar menjadi keikhlasan, menerima ketentuan Allah SWT.Â
Rasa treyuh merebak ketika jenazah dibuka, yang seperti orang tidur biasa, dan yang lebih mengharukan adalah janji si bungsu Ega di telinga ayahnya.Â