(1)
bulan yang tinggal sepotong menolakku dini hari tadi
padahal lama aku menanti kesempatan ini
ketika serigala terakhir, melolong nyaring sekali
memecah buih laut dengan hembusan nafas birahi
redup redam pada getar bumi yang goyang berkali-kali
tubuhku terjungkal di kolong langit tanpa rasa tanpa karsa
akulah terkeparat yang nyaris mati
karena rindu telah menggerogot jiwa
mengubah putaran menjadi keterasingan, melibas sunyi menjadi kepenatan
memaknai satu demi satu rasa bersalah
mengoyak melodi indah dengan nada kematian
tangan, kaki , hati dan tubuh sudah tak berarti lagi
aku terpapar rindu pada hidup yang penuh berkah
agar saat mataku terpejam nanti 1000 malaikat menjagaku di ujung peti mati
hingga tak ada lagi alasan untuk mengubur rindu yang abadi
(2)
Siang nanti kau telah berjanji untuk datang
kita akan bersama membakar rindu di huma
sambil memandang belalang yang kecewa tak mendapati bilah dami
mereka pasti akan terbang tinggi dengan rindu yang telah menjadi-jadi
seperti kita yang suka bermimpi berpelukan lama sekali padahal itu ilusi
aku tak pernah kecewa kalau pun ternyata kau tak datang..
toh aku sudah biasa mengunyah rinduku sendiri.
melahap habis dan menyimpan dalam dinding hati
karena kedamaian adalah melihat bening matamu tersenyum di samping rembulan
Dan kita merasakan dengup yang sama dengan ombak di lautan
seolah kita telah menyelami dasar samudera berdua
bermain-main dengan ikan, yang sesekali ekornya menyapu indah rambutmu
sebelum akhirnya ikan pari menusuk mimpi kita
(3)
aku sudah mengatakan padanya
bahwa rindu sudah pulang
membawa semua yang aku punya
dia sudah berjanji tak akan datang lagi,
Jadi berhentilah merajut nikmat sesat di otak
(4)
Kamu terdahsyat
Jadi kenapa orang sedunia jadi terpapar
ini kemenangan rindu yang terzalimi
Kudus, 17 April 2020
Salam hangat,
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H