Baru kali ini aku rasakan pedih yang sangat luar biasa, ketika mendengar kata-katamu, dan melihat sikapmu. Engkau lelaki yang harusnya  melindungiku, menyanyangiku dengan segenap janji sucimu.
Rasa pedih itu teramat sangat saat  aku melihat dengan mata kepala sendiri engkau menggandeng perempuan  itu, dan berpura-pura tak mengenalku.
Engkau tahu betapa pedihnya hati ini. Tak ada luka yang sepedih ini yang aku  rasakan. Ingatanku pada sebilah pisau yang tergeletak di meja makan. Bekas semalam aku kupaskan dan kupotong-potong mangga kesukaanmu.
Aku yakin pedihnya luka pisau yang menyayat kulitku, tak akan sepedih luka yang kau hadirkan di hatiku. Ingin sekali aku melihat luka yang membuatku sangat pedih itu. Ingin sekali aku robek dadaku, aku ambil hatiku, ingin kemelihat seberapa parah luka itu. Biar aku obati, aku basuh sendiri. Tapi lagi-lagi engkau hadir lagi dengan beribu kata maaf. Dengan sejuta sesal yang membuatku luluh. Seakan luka itu tak pernah ada.
Luka itu sembuh hanya karena cinta, yang terkadang mengaburkan derita. Dan ini adalah sekian kali luka itu kau buka lagi dengan luka yang baru, walau aku yakin betul luka lama belum sembuh.
Kilau pisau itu sungguh menggodaku, sungguh mengejekku. Lekung ujung pisau itu teramat tajam, aku yakin tak akan membuatku merasakan sakit terlalu lama.
"Cemen Kau! Yang hanya memikirkan tajamnya ujungku saja, kapan kau berani membelah dadamu, percayalah. Pedihnya ujungku melukaimu akan menuntaskan segala luka di hatimu..." Berkali-kali pisau itu mengejekku.
Mengendap-endap aku mencari waktu,dan  posisi yang pas buat mengakhiri semua pedih di hatiku. Dengan ujung pisau ini akan segera aku bedah dadaku. Akan segera kuambil dan kuobati luka di hatiku. Tapi lagi-llagi aku gagal, engkau ulurkan tanganmu, engkau hapus air mataku. Dan Cinta itu lagi yang menggagalkan niatku.
Berada dalam ombang-ambing antara cinta dan luka, sungguh telah membuatku mati rasa. Tak ada lagi cinta yang sangat dan tak ada lagi luka yang menganga. Yang ada hanyalah rasa hambar, rasa putus asa dan mati rasa.
Aku hanyalah seonggok mayat hidup yang sudah tak punya keinginan lagi. Bagai robot hanya hanya bergerak mengikuti remut control. Taka da lagi bahagia, taka da lagi pedih , tak ada lagi ingin, tak ada lagi iingin . Aku hanya budak ragaku, hatiku hanya serpihan-serpihan kenangan , bagai pulse yang tak gampang terbaca lagi. Air mata telah mengering, kewarasan tak terdeteksi lagi.
Dan di ujung sana engkau bebas bergerak, bertingkah dan mengurai kata pada siapa saja, tetapi tidak kepada aku.