Dahulu kala di kotaku sebagai penanda buka puasa dinyalakanlah semacam mercon atau bom kecil di alun-alun yang suaranya bisa menggelegar "Nduuul" dan bisa terdengar diseantero kota dan anak-anak pun gembira melihat dan mendengarnya suara itu.
Syahdan pada saat itu...(kebayangkan lamanya, kira-kira sekitar tahun 1975 an lah ) kami anak-anak yang masih seusia SD kelas 3-4-5 an  berkumpul di sebuah padang ilalang yang berdekatan dengan bukit-bukit batu ,  terletak di pinggir desa yang  memisahkan desaku  dengan desa seberang dengan sebuah sungai ( sampai sekarang masih ada, yaitu sungai Gelis, yang merupakan sungai yang melegenda di kota kami ).Â
Sore hari sekitar jam setengah lima sore kami sudah berkumpul di padang ilalang tersebut untuk menyaksikan "Ndul" sebagai penanda buka puasa  sore itu. Kira-kira desa kami terletak 1,5 KM  dari alun-alun tempat " Ndul" dinyalakan. Jadi kami hanya melihat dari jarak jauh kepulan asap dan kembang-api serta suara "nduuul" yang menggelegar,bila kalau waktu sudah menunjukkan jam-jam buka mata kita tertuju ke langit sebelah selatan ke arah alun-alun. Menyaksikan indahnya "Ndul" (eeh bener looh seperti itu aja indah saat itu tuuh...)
Karena biasanya kami berkumpul masih sore, sekitar jam setengah lima jadi kami biasanya bermain-main dulu. Endah mencari belalang, bunga-bunga liar, batu-batu liar yang bagus, atau mencari kacang sisa panen yang tersisa dari cabutan di tanah. Karena letak padang ilalang tempat kami bermain dikelilingi pula sawah yang ditanami berbagai tanaman dan tebu , sebelum menuju ke sungai Gelis.
Rupanya kami keasyikan mencari kacang sisa panen, sehingga tak menyadari waktu berbuka sudah tiba  " ndul" sudah terdengar dan sebentar lagi langit  dan tempat kami bermain menjadi gelap. Ketika menyadari kegelapan terjadi  teman-teman segera berlari menyeberangi kebun bambu sebelum menuju rumah masing-masing.
Dengan membawa kacang yang aku dapat dari mencari sisa panen di sawah orang itu, aku ternyata sudah ketinggalan jauh dari  teman-teman yang sudah naik duluan. Aku segera  lari terpontang-panting menyusuri galengan (pematang sawah) saking gugupnya karena hanya tinggal sendirian ,sandal yang aku pakai pun pedot (hahaha....) , kacang di saku berhamburan ketika aku terjatuh gagal melompat ke kebun bambu arah perkampungan desa kami. Maka aku pun menangis sejadi-jadinya. Apalagi aku lihat teman-teman sudah tidak kelihatan semua. Hari sudah makin gelap.
Antara takut , gugup dan lapar menjadi satu dan aku hanya bisa menangis pasrah.
Untunglah Bapakku segera menyusul, begitu tahu teman-teman yang lain sudah bermunculan sampai ke rumah masing-masing, sedang aku tidak ada.
Bapak segera menggendongku pulang, walau di perjalanan bapak tak henti bicara  " Wis dikandani rak usah ngasak kacang, kok isih ndablek, ketinggalan kancane kan, nek diparani banaspati piye.." (  sudah dibilangin gak usah cari kacang kok masih ngeyel, ketinggalan kancane kalau temui banaspati bagaimana / banaspati itu sebutan untuk hantu penunggu sungai Gelis). Aku hanya bisa sesenggukan di pundak bapak.
Maka sampai di rumah pun aku membersihkan diri, baru kemudian bergabung untuk buka puasa, karena saat itu aku baru kelas 3 SD puasanya masih Mbedug artinya saat adzan dhuhur makan minum dulu kemudian dilanjutkan dengan puasa lagi sampai saat buka. Tapi karena masih takut , aku pun malas makan, hingga ibuku menyuapi. ( duuh...jadi sedih ingat Ibu, semoga beliau sudah tenang di sisi-Nya )
Besok paginya, ibuku membelikan aku kacang mentah setumbu untuk di rebus, agar aku tidak ngasak-ngasak kacang di sawah orang lagi. Dan aku disuruh menghabiskan makan sebosannya saat berbuka.