Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Tantangan Menulis Novel 100 Hari FC ] Mendulang Asa di Bumi Borneo /4/

22 Maret 2016   21:28 Diperbarui: 23 Maret 2016   13:10 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="komunitas FC"] 

Sebelumnya silahkan baca : Mendulang Asa di Bumi Borneo /3/

Bab 2.

 

Hari sabtu sore tiba-tiba Bos Demang datang ke Kalimantan, tanpa pemberitahuan sebelumnya.

“ Jemput ..aku di Bandara nanti jam 5 sore ya Mas Sofian, jam limaan aku sudah nyampe di Banjar, jangan telat ya…”, begitu perintah bos KSP tempat Sofian bekerja.

Bos Damang yang bertempat tinggal di Kudus, biasanya dua minggu sekali datang, untuk mengecek laporan-laporan. Atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan KSP -nya yang mulai tumbuh dengan pesat berkat kerja keras Sofian dan teman-temannya. Bahkan dalam satu bulan KSP itu bisa menghasilkan profit yang sangat lumayan. Walaupun yang pinjam  uang di KSP ini biasanya ‘orang kecil’ seperti, pedagang di pasar atau di rumah, atau mereka yang ingin membuka usaha warung makan, atau menyediakan kamar kost bagi para pekerja tambang yang mulai menggeliat di Kalimantan Selatan. Dengan system pembayaran harian, mingguan, atau bulanan sangat dibutuhkan rakyat kecil, yang tidak mau dan tidak tahu cara berurusan dengan bank konvensional. Apalagi dengan system menjemput bola, para karyawan mendatangi dan menawarkan langsung kepada mereka, dengan prosedur yang mudah, KSP ini sangat diminati masyarakat kecil. Masyarakat kecil kadang tidak mempermasalahkan bunga KSP yang kalau dipikir-pikir sangat ‘mencekik leher’ tak ubahnya dengan rentenir illegal. Hal itulah yang menyebabkan KSP bisa tumbuh dengan subur di masyarakat kalangan menengah ke bawah.

KSP ‘ Damai’ milik Haji Damang ini bukan hanya merajai kota-kota di Jawa namun sudah menyusup ke daerah-daerah pelosok di Kalimantan Selatan. Sehingga Haji Damang mempunyai karyawan yang jumlahnya bisa mencapai limaratusan, sedang yang ada di Kalimantan Selatan sendiri ada duaratus orang lebih. Yang rata-rata mereka berasal dari Jawa juga.

“ Oke..Boss…tapi sabar sedikitlah…kan perjalanan Tanjung- Banjarmasin kurang lebih 6 jam Boss “ Jawab Sofian singkat sambil bersiap-siap melaksanan perintah bossnya.

Sofian yang biasa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sampai di Bandara Banjarbaru jam 7 lebih sedikit.

“ Maaf ..Boss..nunggu agak lama, Boss mendadak sih…”

“ Gak apa-apa, sudah kamu saya antar di Mess ya …mobil saya bawa “

“ Oke Boss “ , tanpa banyak bertanya Sofian mengiyakan kemauan bossnya.

Yang agak membuat Sofian agak risih ternyata Boss Damang tidak sendiri tadi di Bandara, dia ditemani wanita paruh baya yang Sofian tahu itu bukan istri Boss. Tapi seorang wanita Banjar, entah siapa Sofian malas berpikir. ‘ Ah…itu bukan urusan saya..’ begitu pikir Sofian.

Tetapi sesama laki-laki tahulah, apa maksud bossnya itu. Kalau biasanya Boss Damang ke Kalimantan dua minggu sekali hanya beberapa hari saja, sekarang lebih sering datang karena ternyata Boss Damang ada wanita simpanan di Kalimantan. Seorang wanita berusia 30 tahunan yang dandanannya agak norak, begitulah, khas acil-acil yang suka menggoda pria-pria berduit. Apalagi Bos Damang tidak pernah datang bersama istrinya, bagaimana tidak menarik perhatian acil-acil pemburu harta itu.

“ Tinggal dimana Cil ?” iseng Sofian bertanya pada wanita yang sering bersama bossnya itu, ketika mengantar boss Damang ke bandara untuk pulang ke Jawa.

“ Sini aja..di Banjar..”

“ Oh..asal dari daerah mana Cil..?”

“ Ulun dari Kandangan ..” Acil itu menyebut suatu tempat di daearah Hulu Sungai Selatan Kalsel.

“ Oh...dapat apa Pian dari Boss “

“ Ada..ae..”

“ Ha..ha..ha..kasianlah istri Boss kalau tahu..”

“ Boss…butuh ulun, dan ulun juga butuh boss”

Sofian hanya dapat tugas mengantar Acil itu pulang ke Kandangan, sekalian Sofian balik ke Tanjung yang sejurusan juga.

Sofian mulai gak enak saja ketika bossnya sekarang sering berkunjung, sehingga aktifitasnya agak terganggu, selain itu bossnya juga lebih teliti mengecek keuangan kantor-kantor cabang di Kalimantan Selatan.

Ketika boss Damang mengetahui Sofian sekeluarga menyewa rumah hanya sebagian belakang saja. Maka boss Damang langsung menyuruh mencari kontrakan rumah yang bagus dan agak besar.

“ Gimana sih kamu Sofian, malu-maluin saja…mosok orang pertamaku di sini nempati rumah seperti ini.”

“ Cari yang murah Boss, karena kami masih mempunyai tanggungan di Kudus “

“ Segera cari rumah ya…selesaikan tanggunganmu di Kudus, biar kamu bisa lebih focus bekerja”

“ Oke Boss..terima kasih. “ jawab Sofian ketika menerima sebuat amplop berisi uang.

“ Pergunakan cari rumah yang bagus  ya…”

 

Sofian dan Imoeng dan anak-anaknya sekarang menempati rumah yang lumayan bagus, ditambah beberapa faslitas yang dibelikan boss Damang.

Satu tahun sudah Imoeng berada di Kalimantan. Imoeng ingin segera ke Kudus untuk mengambil anak keduanya Dwi, yang masih ada di Kudus, sambil memberesi hutang-hutangnya. Walaupun setiap bulan Imoeng mengirim uang untuk menyicil hutang-hutang tapi dia tidak tahu jumlahnya yang pasti kurang berapa hutangnya.

“ Pak..nitip Ais sama Ayuk…minggu depan aku akan ke Kudus ya..”

“ Perlu saya antar kah Buk..”

“ Tak usah Pak..nitip anak-anak saja, besok belikan tiket kapal ya”

“ Oke…beres Buk” Jawab Sofian sambil menggoda Imoeng.

“ Gak mau aku antar mau ketemuan sama siapa nih…di Kudus “

“ Walah Pak-Pak..gak usah pakai curiga-curiga gitu lah…pokoknya yang penting aku akan membawa Dwi dan membereskan hutang-hutangku, biar beres semua dan bisa kosentrasi untuk mencari nafkah di sini “

“ Oke..wis..tak dukung pokoke..” Jawab Sofian enteng.

 Seminggu kemuadian Imoeng sudah sampai di Kudus, menuju rumah adiknya yang dititipi uang tiap bulan untuk memberesi hutang-hutangnya yang tinggal tak seberapa. Namun yang lebih penting Imoeng akan mencari anaknya Dwi yang ternyata tidak pernah pulang ke tempat adik Imoeng yang biasa disinggahi.

“ Apa Dwi gak pernah pulang kemari ya?” , Tanya Imoeng pada adiknya Arsi yang biasa dititipi segala sesuatunya sejak Imoeng pergi ke Kalimantan.

“ Gak pernah Mbak…aku cari-cari juga tak pernah ketemu.”

“ Iya sudah setelah aku ketemu rentenir itu dan memberesi hutang-hutangku, aku akan mencari Dwi dulu, dia harus ikut ke Kalimantan, akan jadi apa kalau dia dibiarkan di sini.”

Mendengar Imoeng ada di Kudus Mak Keti, nama rentenir itu menemui Imoeng di rumah adiknya.

“ Ini catatan hutangmu Mbak…masih kurang membayar 30x  kira-kira 10 juta lah, “

“ Apa…memang berapa hutangku,aku sudah bayar berapa, kok bkannya berkurang tapi malah bertambah dari jumlah uang yang aku pinjam ,”

“ Ini catatannya..”

Imoeng lalu melihat buku catatan yang dibawa Mak Keti.

“ Kenapa bunganya semakin banyak begini..”

“ Pokoknya kalau mau beres ya..sudah bayar semua ini, biar tidak berbunga lagi,”

Jelas Mak Keti itu membuat Imoeng marah tak bisa menahan diri.

“ Lihat catatannya, harusnya hutangku sudah lunas dari kemarin kenapa jadi bunga berbunga seperti ini…”

“ Ya..sudah bayar aja semua kalau tidak mau kena bunga berbunga lagi..”

“ Iya..itu namanya mencekik orang, tidak boleh seperti itu..”

“ Tapi hutang sama saya aturannya begitu mbak..”

“ Gak bisa…apa kita panggil polisi saja untuk menghitungnya…kamu bisa kena perkara loh kalau mencekik orang seperti ini..”

“ Jangan Mbak…jangan panggil polisi, ya..sudah bayar separonya aja ya,”

“ Enak aja gak bisa…harusnya uangku malah lebih itu hitungannya.”

“ Ya sudah..pokoknya aku ditambahi berapa saja, jangan panggil polisi”

“ Gak bisa kalau mau minta tambah aku tetap panggil polisi,” gertak Imoeng pada Mak Keti.

“ Ya… sudah aku pulang saja” ujar Mak Keti sambil berjalan keluar. Di luar Mak Keti terdengar masih menggomel tapi dibiarkan saja oleh Imoeng.

 

Beres urusan hutangnya, Imoeng mencari anaknya dengan Dwi, dengan mendatangi teman-teman Dwi,yang sekiranya tahu keberadaan Dwi sekarang.

Menurut beberapa orang Dwi sering membantu disebuah bengkel Radiator di sebuah perempatan jalan. Namun pemilik bengkel mengatakan sudah sebulan Dwi tidak pernah lagi datang ke bengkelnya.

“ Sudah sebulan Dwi tidak pernah kesini lagi Bu, coba cari di rumah Mamat belakang pasar Bu..”

Imoeng pun segera meluncur ke tempat yang ditunjuk oleh pemilik bengkel tersebut.

“ Dwi tidak disini Bu…coba cari ke rumah Karmin “ jelas teman Dwi itu sambil menjelaskan di mana rumah Karmin.

Ketika akhirnya Imoeng menemukan rumah Karmin, orang yang bersangkutan juga tak mengetahui keberadaan Dwi sekarang.

Sampai malam tiba Imoeng belum menemukan keberadaan anaknya. Tetapi dia tak mau menyerah, esok paginya Imoeng kembali mencari keberadaan Dwi dengan bertanya kesana kemari sekiranya tahu keberaan Dwi.

Ketika naik angkutan umum, Imoeng bercerita kepada sesame penumpang kalau dia sedang mencari keberaan anaknya, Dwi.

“ Anaknya kurus, agak tinggi, berambut lurus, ada tahi lalat di dagunya, nama Dwi coba Mas Mbak kalau ada yang pernah melihat anak saya ini “

Tiba-tiba sopir angkutan yang dinaikinya setelah melihat foto Dwi yang diperlihatkan oleh Imoeng, berkata.

“ Namanya siapa Buk…kok seperti wajah kernet saya yang baru seminggu ini ikut saya, tapi sekarang anaknya gak masuk makanya saya sendirian tidak berkernet hari ini “

“ Namanya Dwi, Mas…coba perhatikan foto ini, apa benar ini wajah kernetmu yang gak masuk hari ini,”

“ Iya …betul  Buk…sekarang anaknya sedang gak enak badan di rumah Gareng, Bu..”

“ Rumahnya mana Mas, tolong antarkan saya sekarang nanti ongkos  saya benar penuh, yang penting anak saya ketemu, Mas…”

“ Oke..Bu saya antar sekarang “

Tiba di rumah Gareng, Imoeng mendapati anaknya sedang berbaring lemah di atas tikar yang digelar di teras rumah Gareng.

“ Dwi…bangun Nak..ayo ikut Ibuk ya..” kata Imoeng sambil duduk di sebelah anaknya yang masih berbaring.

“ Badanmu panas, kita ke dokter dulu ya…”

‘ Tapi Dwi gak mau ikut ke Kalimantan Bu..”

“ Sudahlah…yang penting kita pergi berobat dulu sekarang”.

Betapa sedihnya hati seorang ibu mendapati anaknya hidup seperti seorang gelandangan, dengan menahan sakit dan demam sendiri. Hatinya terasa tercabik-cabik mendapati kenyataan ini, bagaimana pun Dwi anaknya yang kurang mendapat perhatiannya sejak kecil, dan juga sama sekali tidak mendapat kasih sayang bapaknya. Karena tiga bulan setelah melahirkan Dwi dulu, Imoeng resmi bercerai dengan suami pertamanya. Setelah itu mantan suaminya tidak pernah lagi menenggok anaknya, sampai Dwi besar seperti ini Dwi belum pernah melihat wajah bapaknya.

Sekarang yang penting Dwi harus sembuh dulu, setelah itu Imoeng harus bisa merayu Dwi agar mau ikut ke Kalimantan, karena di sana banyak rencana untuk Dwi, agar Dwi bisa mempunyai masa depan yang baik. Di Kalimantan akan banyak asa yang bisa dibangun agar Imoeng dan anak-anaknya tidak lagi mengalami hidup sengasara di Jawa.

 

Bersambung….ya

 

 

Kudus, 22 Maret 2016

'salam fiksi'

 

Dinda Pertiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun