Mohon tunggu...
Sri Sarining Diyah
Sri Sarining Diyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A traveller since being a kid and will never be stop to measure her unlimited world. Loving mountains peaks, caves, rivers, forests, mother earth. I'm a radio announcer in Jakarta. My footprints: http://srisariningdiyah.multiply.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Keramahan ala Hong Kong

10 Desember 2010   03:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini saya hanya ingin berbagi keramahan ala Hong Kong yang diberikan kepada saya selama dalam perjalanan.

Sambungan dari sini.

New Lucky Guest House

Exit B2, Jordan Station

Jordan Road, Hong Kong

18.00

Saya pulang dari berjalan-jalan hunting Hong Kong Railway Museum yang gagal, dan sorenya ke 10.000 Buddha Temples bersama Don Miller, teman baru yang baik hati. Sampai di meja resepsionis, pemilik hotel yang sedang memasak langsung menghampiri saya sambil berbicara bahasa yang sulit dimengerti oleh saya. Namun suaminya yang lumayan bahasa inggrisnya segera menerjemahkan terpatah-patah, dalam kalimat yang intinya: malam ini saya tidak boleh keluar hotel untuk makan, karena akan ada jamuan khusus untuk saya, dan sudah ada teman-temannya yang diundang juga untuk datang bersama keluarga mereka. Alangkah terkejutnya saya, karena malam sebelumnya mereka juga sebenarnya sudah mengajak saya makan bersama, namun karena saya pikir bercanda jadi saya tidak begitu menanggapi.

Saya tersenyum terima kasih untuk undangannya dan berkata bahwa saya tersanjung atas perhatian mereka, untuk kemudian minta ijin mandi terlebih dahulu, kembali ke kamar.

Keluar kamar, saya segera menghampiri mereka yang nampaknya sudah siap dengan meja kecil lipat yang digelar, dan panci plus kompor listrik idaman saya selama ini hehe. Sebelum bersantap, mereka juga mengatakan bahwa tidak ada daging babi dalam masakan kali ini, karena khusus menyambut saya yang menginap kembali di tempat mereka. Bahkan daging kambing yang disajikan juga dibeli dari pedagang muslim di Hong Kong ini. Wah, saya sangat terharu, dan hanya bisa menganggukkan kepala berkali-kali seraya berkata “thank you” dan “xie xie”, hehe. Hanya itu yang saya bisa katakan.

Berkali-kali si istri pemilik penginapan menyuruh saya mengambil daging dari panci, kalau saya hanya mengangguk maka dia mengambilkannya untuk saya, hehe waduh bisa gawat ini. Bahkan nasi semangkuk kecil tapi penuh disodorkan kepada saya. Awalnya saya kaget, tapi demi menghormati mereka, saya berusaha tetap biasa saja menerima semangkuk nasi tersebut, diusahakan dengan raut muka gembira. Padahal, sesungguhnya saya sedang tidak bernafsu makan nasi.

1291951377613964908
1291951377613964908

Biasanya saya jarang sekali makan nasi sehari-hari, hanya jika alarm tubuh saya memanggil NASI, barulah saya akan makan nasi. Tapi saat itu bukan waktu yang tepat. Jadilah saya dalam situasi yang cukup dilema, hehe. Karena berkali-kali mereka menyodorkan nasi ke mangkok saya, tapi tambahan kedua sudah cukup membuat saya memberanikan diri untuk menolak dengan alasan “I’m too full”. Mereka melihat saya dengan heran, sayapun sebenarnya heran melihat mereka bagaimana bisa me-manage perut dengan berkali-kali menyendok nasi dalam mangkuk setiap kali habis.

12919512351700574526
12919512351700574526
Begitu juga dengan daging kambing yang ada di panci besar tersebut, rasanya tak habis-habis kami makan ber-enam malam ini. Wah, saya mulai was-was, karena tak ada tanda-tanda berhenti proses memamah ini, hiks. Sayapun malu untuk meninggalkan mereka, jadi untuk menyamakan kecepatan makan mereka yang seakan tiada habis energi makannya, saya mengunyah perlahan. Perkiraan saya, waktu makan saya yang sebenarnya tidak terlalu menuntut banyak makanan, akan sama persis waktu selesainya dengan waktu makan mereka yang seakan memang mengharuskan diri berbincang sambil makan tak henti.

Oiya selama kami makan, diselingi banyak perbincangan tentang berbagai hal. Mulai dari kehidupan pribadi saya, pekerjaan saya, sampai kebocoran yang terjadi di dalam salam satu ruangan di gedung ini. Gedung tempat penginapan saya berada ditempati beberapa penghuni lain yang juga membuka penginapan maupun tinggal sendiri bersama keluarga mereka. Bahasa yang kami pergunakan sungguh unik. Selama berbincang, saya menggunakan bahasa Inggris yang diusahakan baik dan benar, hehe karena yang menyahuti saya dengan baik dan benar juga anak kecil 9 tahun, putra dari tamu pemilik penginapan. Nampaknya dia semangat sekali untuk mempraktekkan bahasa Inggrisnya di sekolah. Sementara para orang tua hanya sepotong-sepotong menyahuti saya, karena keterbatasan juga. Apalagi nyonya pemilik penginapan, beliau sama sekali tidak menguasai bahasa Inggris, jadi selama ini komunikasi kami berdua hanya tunjuk, senyum, saling melempar bahasa yang berbeda, lalu tertawa bersama, hehehe.

Begitu juga sistem perbincangan kami malam ini, mirip kuis saja. Karena setiap kali saya bertanya sesuatu, mereka akan menunjuk atau mengucap satu kata, sisanya saya menebak sendiri. Unik ya, hehe. Seunik masakan tuan rumah, yang penuh dengan bumbu termasuk tebu. Wah, jadi kepingin mencoba nanti di Jakarta, masak dengan tebu sebagai pengganti gula olahan, tentu unik rasanya.

1291951518221962302
1291951518221962302

Setelah perbincangan tiada habis diselingi tertawa, tuan rumah mengeluarkan segepok selada untuk dimasukkan ke dalam panci gulai yang mula berkurang dagingnya. Wuaaaaa… itu kan kesukaan saya! Kenapa ‘nggak dari tadi dikeluarinnyaaaaa… saya histeris dalam hati hehe. Sambil tak sabar menanti mereka selesai memasukkan sayuran, saya mencomot 2 lembar daun selada sebelum layu terkena sup panas. Saya lebih suka daun selada segar!

129195157475781123
129195157475781123

Rupanya mereka tanggap dengan kesukaan saya memamah biak daun ini, maka dengan sigap mereka mengambil lebih banyak lagi daun selada yang ternyata ada dalam jumlah banyak dalam satu kardus! Waaahhh saya jadi merasa tidak bersalah makan terlalu banyak daun selada ini hehe… kenapa ‘nggak dari tadi aja ya daunnya dikeluarin, masa dari tadi makan daging aja sama nasi, sampe engga enak ini perut, hehe. Saya hanya berseru dalam hati.

Akhirnya perut saya bisa berkompromi lagi setelah diisi sayuran segar. Sementara itu dengan heran dalam hati saya memperhatikan, belum ada tanda-tanda untuk berhenti juga makan malam ini. Dengan heboh mereka berempat selalu bercerita dan mengunyah, sementara anak kecil laki-laki bermain asyik sendiri di meja resepsionis. Beberapa kali si anak kecil juga menolak tambahan daging dan nasi yang disodori ibunya, maka saya rasa wajar juga kalau saya sudah merasa harus STOP makan. Walaupun belum terlalu kenyang, tapi alarm perut saya bilang ENOUGH, hehe. Dan saya kembali hanya mengikuti perbincangan kuis.

Tak berapa lama, si anak laki-laki yang mulai kembali ke maja makan lagi, duduuk untuk menikmati semangkuk nasi sayur dan daging kambing LAGI. Oh my God… saya merasa kurang beres kalau harus mengikuti acara makan malam yang selalu berulang mengisi mangkuk ini. Jadi setelah dirasa cukup basa basinya, dengan sangat menyesal saya mengatakan harus beristirahat untuk mempersiapkan wawancara di konsulat keesokan pagi. Mereka dengan heran bertanya apakah saya kurang suka masakan pemilik rumah? Saya bilang masakannya GREAT, dan minta resepnya untuk dicoba di rumah, tapi perut saya benar-benar sudah penuh, seraya meminta maaf. Akhirnya mereka mengerti, dan saya juga berterima kasih lagi kepada pemilik rumah untuk segera menyingkir ke kamar.

Fiuuuuhhh…

What a dinner…!

Kalau mau diturutin, bisa meledak ini perut, hahahaha…

Thanks God, untuk keramahan ala Hong Kong malam ini…

.

.

.

Budget notes:

-

Time planning:

Kami menghabiskan waktu 2 jam lebih untuk berbincang, tertawa dan bercerita dalam jamuan makan malam ini.

Notes:

Di negeri orang ataupun di negeri sendiri, tentu lebih baik mengedepankan sopan santun. Bagaimanapun terlihat cuek dan judes orang lain dalam berkomunikasi, mungkin disebabkan kendala bahasa akan hal tersebut. Tapi saya percaya, setiap manusia mempunyai sisi manisnya dalam diri. Dan ini, tentu harus dihargai sebagai sesuatu yang bisa dikenang seumur hidup. Walau bahasa kita berbeda.

PS: Untuk rekan2 MPers, karena kesulitan membuka situs multiply di daratan China, maka cerita perjalanan untuk sementara diteruskan di Kompasiana saja dulu ya... :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun