Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Motivasi dan Doa Ibu untuk Anak Gadis Pejuang Keluarga

31 Desember 2020   21:40 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:47 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis jebolan Lida 2020 kompetisi TV Swasta harus puas di nomor 24 besar dari 70 peserta. Masuk di dunia entertain, tidak cukup wajah cantik, cerita sedih, tetapi perlu talenta, kompetensi diri dan profesi. Bakat seni muncul secara otodidak, mengantarkan sebagai juara pertama dalam lomba berdendang se kabupaten. Mengikuti berbagai ajang kompetisi motivasinya untuk menjadi tulang punggung keluarga. Dalam lomba "Pesona Wajah Indonesia 2019" gadis bergigi gingsul ini menyabet juara pertama. Sayang, gagal melaju ke Jakarta karena tidak ada biaya untuk akomodasi dan transportasi yang harus ditanggung sendiri.

Tulisan ini merupakan kisah nyata seorang gadis kampung berusia 18 tahun, yang menjadi pejuang keluarga. Bermodal suara merdu dan wajah cantik, gadis kampung dari keluarga sederhana tanpa fasilitas ini bersekolah sambil menerima job nyanyi di kota. Anak bungsu dari 4 (empat) bersaudara menjadi harapan utama bagi keluarganya, mengingat kakaknya ada yang menjadi kuli bangunan, tenaga honorer di Kantor Desa, dan pengasuh anak saudara. Keluarganya beranggapan job menyanyi bayarannya lebih besar, dibanding pekerjaan kakak-kakaknya.

Mereka hanya tahu bahwa tidak setiap menyanyi pasti mendapakan bayaran. Padahal lebih banyak sekedar berbagi, memberi, dan menyantuni dengan suara merdu yang dimiliki. Artinya menyanyi tidak mendapat bayaran karena hanya menyumbang lagu, walau keluar biaya kostum dan riasan. Inilah modal sosial yang harus dikeluarkan untuk acara ulang tahun anggota komunitas yang diikuti. Masalahnya, lebih banyak menyanyi gratis daripada mendapat bayaran.

Apalagi pandemi Covid-19 saat paling berat karena tidak ada job sama sekali. Mencari uang mengandalkan menyanyi dari panggung ke panggung dirasa sangat sulit. Beban gadis mungil itu pun semakin berat, karena harus menanggung kebutuhan keluarga di kampung. Wajah gadis itu selalu ceria di depan keluarga, fens dan lingkungannya, sehingga tidak tahu kepedihan batinnya. Batinnya  menjerit, menangis bila ada "telepon" dari orangtua meminta uang untuk menutup kebutuhan hidup karena tidak pegang uang sepeserpun, tetapi harus dipenuhi. Dalam kondisi begini selalu ada pertolongan  Alloh SWT melalui seorang ibu yang empati dan simpati.   

Anak ini terpaksa bersandiwara karena tidak tega melihat orang tua kecewa dan sedih, padahal dia sudah berjanji menjadi tulang punggung keluarga. Padahal bayaran saat menyanyi dari panggung ke panggung maksimal Rp 200.000,00, sebelum ikut LIDA 2020. Setelah mendapat predikat jebolan LIDA 2020, duta propinsi, artis daerah honornya naik maksimum Rp 2.000.000,00. Untuk mendapatkan bayaran maksimum perlu perjuangan luar biasa, latihan tiap hari sampai larut malam. Menempuh perjalanan menuju lokasi acara sampai 2 (dua) hari 2 (dua) malam. Sangat menguras, energi, emosi, pikiran dan menjalani kehidupan malam di tengah orang dewasa berkeluarga sendirian.                                                                                                                  

Menyandang sebutan artis daerah, duta propinsi pun semakin membuatnya tidak berdaya, tidak menjadi pribadi utuh, dan tidak merdeka. Mengapa ?. Hidupnya dikendalikan pejabat pemda, sejak pulang dari Jakarta. Tidak boleh tinggal bersama kedua orang tuanya di kampung, hidup sederhana, apa adanya. Namun dititipkan dari satu keluarga ke keluarga lain di kota sendirian, dipisahkan dengan keluarga yang selalu memberi doa dan kehangatan kasih sayang. Selama 6,5 (enam setengah) bulan pindah di 3 (tiga) keluarga, dengan aturan berbeda.

Keluarga pertama melarang gadis polos itu keluar rumah tanpa alasan jelas, termasuk berkumpul dengan teman sekolah, dan tanpa uang saku. Di keluarga kedua dan ketiga lebih longgar, namun tetap tidak pegang uang saku sepeserpun. Padahal sebagai gadis belia pasti ada kebutuhan pribadi rutin yang harus dipenuhi setiap bulan. Hidupnya dibuat tergantung orang lain, pulang kampung harus diantar tim manajer, tidak boleh naik motor.

Pikirannya masih sangat polos, sederhana, dengan dititipkan di tiga keluarga secara berpindah merasa berada di "zona nyaman", dininabobokkan. Tidak pernah menyadari  jiwa raganya tergadaikan, tidak berdaya, tidak mandiri, tidak merdeka. Gadis belia itu dijadikan "obyek", "komuditas" dan "pansos" oleh lingkungan sosialnya. Akibatnya pola pikir, gaya hidup, perilaku, gaya bicara, dan sikap seperti mereka, masih remaja dipaksa dewasa.

Dalam kondisi serba tidak berdaya, ternyata menjadi perhatian seorang ibu yang mengamati dari jarak sejak audisi. Ibu itu memberi perhatian, doa, wawasan, motivasi agar gadis itu menjadi dirinya sendiri, pribadi yang utuh. Tidak "terjajah", tidak dibawah pengawasan dan tekanan mereka, pejabat pemda maupun tim manajemen yang mengatur hidup dan karirnya. Tidak pernah ada perjanjian kontrak tertulis antara gadis itu dengan tim manajemen yang mengatur hak dan kewajiban.

Kenyataan  tim manajemen "menguasai" dan "mengancam" bila kos harus membayar sendiri, termasuk untuk makan. Hal ini menimbulkan praduga selama dititipkan di keluarga ada biaya hidup selama 6,5 bulan. Siapa yang menanggung ?. Ada misteri yang tidak diketahui gadis itu karena tidak ada informasi jelas dari mereka (orang dewasa berkeluarga). Lagi-lagi pikiran polosnya tinggal di keluarga diakui sebagai orang tua angkat. Padahal keluarga itu tidak pernah terucap mengangkat dia sebagai anak angka, hanya sebatas anggota komunitas yang termuda.  

Lagi-lagi ibu yang simpati dan empati sekedar ingin "berbagi, memberi, dan menyantuni" gadis belia dengan caranya sendiri. Memberi motivasi, dukungan moril dan materiil, doa, rela melakukan apapun agar gadis belia itu dapat mewujudkan niat suci menjadi pejuang keluarga dan menggapai impiannya. Kebanggan tiada tara bisa melihat gadis tersebut meraih gelar kesarjanaan sekaligus penyanyi dangdut yang elegan dan bermartabat. Caranya dengan memberi pesan, wawasan, teladan, melalui media sosial, DM (direct massage) . Gayungpun bersambut, gadis dan keluarga menerima dengan senang hati walau belum pernah bertemu fisik.

Kebanggaan dan kebahagiaan bagi seorang ibu dapat membuat gadis belia itu tersenyum ceria, manja dan childish. Ibu itu secara sederhana menumpahkan rasa kasih sayang seperti anak kandung, perhatian, membersamai, dan menuntun supaya hidupnya tidak salah arah dan salah pergaulan. Inilah yang dilakukan ibu itu untuk berbagi, memberi dan menyantuni, secara tulus ikhlas tanpa mengharap balasan sepeserpun. Semuanya dilakukan dengan senang hati tanpa maksud mencari ketenaran apalagi pansos. Bagi ibu tadi mendapat kesempatan berbagi, memberi, dan menyantuni merupakan kebahagiaan tiada tara.

Kebahagiaan gadis multi talenta cantik, mungil, childish sangat dirasakan oleh ibu itu. Bagi ibu dapat membahagiakan gadis itu rasanya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Pokoknya "sesuatu" banget dan tidak dapat dilukiskan. Padahal hanya memberikan motivasi dan doa agar gadis pejuang keluarga, dapat sukses hidupnya untuk dunia dan akherat. Melihat anak gadis itu tersenyum manja rasanya luar  biasa. Artinya berbagi, memberi, dan menyantuni itu tidak semata-mata harus berupa materi, uang, walaupun diakui sangat diperlukan.

Saat ini gadis itu mulai menapaki tangga kehidupan setelah menyandang mahasiswa di PTN daerah melalui jalur mandiri. Seleksi tes prestasi di bidang seni dan budaya, walau kesempatan menjadi mahasiswa pun nyaris hilang karena tidak ada uang sepeserpun untuk melunasi SPP dan uang gedung. Para pejabat Pemda rupanya "kurang peka" dengan putra daerah yang berprestasi dari keluarga tidak mampu. Minimal meringankan uang kuliah atau membebaskan sebagai bentuk apresiasi atas sebutan "Duta Propinsi". Lagi-lagi sebagai rakyat kecil tidak bisa protes dan tidak berdaya menghadapi kondisi ini.

Baru menikmati menjadi mahasiswa selama 2 (dua) bulan, "terpaksa" meninggalkan kuliah untuk memenuhi panggilan produser Ibukota yang akan mengembangkan karir musik dangdut. Lagi-lagi karena tuntutan ekonomi untuk menjadi tulang punggung keluarga. Namun ekspektasi selalu berbeda dengan realita. Ternyata di Jakarta disodori perjanjian kontak tanpa penjelasan dan kesempatan berpikir. Secara garis besar hanya dijelaskan lebih banyak membatasi ruang gerak pribadinya walau secara profesi mendapat kesempatan emas berkembang. Hal pribadi yang dirasa berat adalah keinginan memakai "hijab" dilarang pihak produsen. Selain itu masih ada "tekanan" secara pribadi dan profesi.

Hal paling memberatkan selama 5 (lima) tahun tidak boleh pulang kampung. Beban hidup berat terlalu lama, tanpa fasilitas, hidup sederhana, Namun pejabat Pemda memperlakukan seperti "cinderela", ketika pulang LIDA 2020, pribadnya semakin rapuh. Akibatnya semangat  menghadapi tekanan, tantangan, halangan, dalam menjalani kehidupan tidak sanggup lagi dan kalah sebelum berjuang. Artinya perlakuan pejabat Pemda dan orang-orang yang ingin pansos justru merusak dan menghancurkan mimpinya sebagai pejuang keluarga. Sedang seorang ibu yang dengan ikhlas tetap  berjuang membersamai gadis belia itu untuk menjalani perjalanan hidupnya, walau penuh perjuangan dan pengorbanan. Semoga semua yang dilakukan ibu yang selalu memberi motivasi dan doa untuk anak gadis pejuang keluarga membuahkan hasilnya.        

Yogyakarta, 31 Desember 2020 Pukul 20.53

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun