Kebanggaan dan kebahagiaan bagi seorang ibu dapat membuat gadis belia itu tersenyum ceria, manja dan childish. Ibu itu secara sederhana menumpahkan rasa kasih sayang seperti anak kandung, perhatian, membersamai, dan menuntun supaya hidupnya tidak salah arah dan salah pergaulan. Inilah yang dilakukan ibu itu untuk berbagi, memberi dan menyantuni, secara tulus ikhlas tanpa mengharap balasan sepeserpun. Semuanya dilakukan dengan senang hati tanpa maksud mencari ketenaran apalagi pansos. Bagi ibu tadi mendapat kesempatan berbagi, memberi, dan menyantuni merupakan kebahagiaan tiada tara.
Kebahagiaan gadis multi talenta cantik, mungil, childish sangat dirasakan oleh ibu itu. Bagi ibu dapat membahagiakan gadis itu rasanya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Pokoknya "sesuatu" banget dan tidak dapat dilukiskan. Padahal hanya memberikan motivasi dan doa agar gadis pejuang keluarga, dapat sukses hidupnya untuk dunia dan akherat. Melihat anak gadis itu tersenyum manja rasanya luar  biasa. Artinya berbagi, memberi, dan menyantuni itu tidak semata-mata harus berupa materi, uang, walaupun diakui sangat diperlukan.
Saat ini gadis itu mulai menapaki tangga kehidupan setelah menyandang mahasiswa di PTN daerah melalui jalur mandiri. Seleksi tes prestasi di bidang seni dan budaya, walau kesempatan menjadi mahasiswa pun nyaris hilang karena tidak ada uang sepeserpun untuk melunasi SPP dan uang gedung. Para pejabat Pemda rupanya "kurang peka" dengan putra daerah yang berprestasi dari keluarga tidak mampu. Minimal meringankan uang kuliah atau membebaskan sebagai bentuk apresiasi atas sebutan "Duta Propinsi". Lagi-lagi sebagai rakyat kecil tidak bisa protes dan tidak berdaya menghadapi kondisi ini.
Baru menikmati menjadi mahasiswa selama 2 (dua) bulan, "terpaksa" meninggalkan kuliah untuk memenuhi panggilan produser Ibukota yang akan mengembangkan karir musik dangdut. Lagi-lagi karena tuntutan ekonomi untuk menjadi tulang punggung keluarga. Namun ekspektasi selalu berbeda dengan realita. Ternyata di Jakarta disodori perjanjian kontak tanpa penjelasan dan kesempatan berpikir. Secara garis besar hanya dijelaskan lebih banyak membatasi ruang gerak pribadinya walau secara profesi mendapat kesempatan emas berkembang. Hal pribadi yang dirasa berat adalah keinginan memakai "hijab" dilarang pihak produsen. Selain itu masih ada "tekanan" secara pribadi dan profesi.
Hal paling memberatkan selama 5 (lima) tahun tidak boleh pulang kampung. Beban hidup berat terlalu lama, tanpa fasilitas, hidup sederhana, Namun pejabat Pemda memperlakukan seperti "cinderela", ketika pulang LIDA 2020, pribadnya semakin rapuh. Akibatnya semangat  menghadapi tekanan, tantangan, halangan, dalam menjalani kehidupan tidak sanggup lagi dan kalah sebelum berjuang. Artinya perlakuan pejabat Pemda dan orang-orang yang ingin pansos justru merusak dan menghancurkan mimpinya sebagai pejuang keluarga. Sedang seorang ibu yang dengan ikhlas tetap  berjuang membersamai gadis belia itu untuk menjalani perjalanan hidupnya, walau penuh perjuangan dan pengorbanan. Semoga semua yang dilakukan ibu yang selalu memberi motivasi dan doa untuk anak gadis pejuang keluarga membuahkan hasilnya.    Â
Yogyakarta, 31 Desember 2020 Pukul 20.53
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H