Merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia bukan saja berdampak pada persoalan kesehatan, tetapi sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, pendidikan, dan dunia kerja. Akibat ulah pandemi Covid-19 dunia terusik termasuk Indonesia, sehingga untuk memutus rantai penyebarannya sesuai dengan protokol kesehatan keluar ketentuan stay at home/ di rumah saja.Â
Artinya secara bertahap sekolah, Â kantor, tempat ibadah ditutup, semua dilakukan dari rumah. Walaupun muncul persoalan baru yang tidak pernah terbayang dalam benak karena sekolah, kerja dan beribadah semua di lalukan di rumah.
Jejaring internet menjadi andalan untuk melakukan komunikasi, koordinasi, silaturahmi dan mengerjakan pekerjaan kantor, sekolah, kuliah, mendengarkan kultum ustad. Persoalan muncul karena internet hanya lancar untuk wilayah Indonesia bagian barat, di Indonesia bagian tengah dan timur sering timbul tenggelam, bahkan hilang sama sekali.Â
Banyak kisah para mahasiswa saat mengerjakan tugas dari rumah harus mencari sinyal dengan naik pohon di tengah hutan. Sangat tidak aman dan tidak nyaman, belum untuk siswa SD-SMA yang tidak semua orang tuanya mempunyai smartphone atau mampu membeli kuota untuk mengerjakan tugas sekolah.
Perubahan aktivitas, mobilitas, dan kesibukkan, yang tanpa persiapan ini harus disikapi dengan cepat berubah dan menyesuaikan diri agar tidak menimbulkan masalah lebih lanjut. Prinsipnya mengikuti himbauan, arahan dan aturan yang diputuskan oleh para pengambil kebijakan. Sayangnya masyarakat selalu mengalami perubahan cepat, kontradiksi, jadi membingunggkan. Himbauan, larangan, baru efektif setelah ada edukasi dan sosialisasi, ternyata sudah berubah.Â
Akibatnya masyarakat memutuskan sendiri bebas keluar rumah, berkerumun di pasar dan mall, sadar atau tanpa sadar beresiko terpapar Covid-19. Sudah ada larangan mudik dan semua transportasi ditutup, jalan raya dibeli portal dan petugas berjaga 24 jam tanpa kenal lelah, tiba-tiba transportasi boleh beroperasi dengan protokol kesehatan.
PSBB di berbagai kota diberlakukan, para orang tua patuh menahan rindu lebaran kesepian, tidak bersama anak-anak, mantu dan cucu-cucu. Anak-anak yang pekerjaannya di zona merah setia selama 3 (tiga) bulan tidak keluar rumah.Â
Para tenaga kesehatan berguguran sebagai pahlawan kemanusiaan, tiba-tiba orang-orang itu, siapapun mereka berbondong-bondong memadati bandara, mall, stasiun, "dianggap" pandemi Covid-19 usai (padahal masih ada) karena tidak kasat mata. Sungguh kondisi ini melukai mereka yang taat tetap tinggal di rumah, sampai rela jenggot, rambut, kumis tumbuh lebat karena takut keluar untuk mencukur dan merapikan.
Terlepas dari semua kondisi ini sebagai orang yang berusaha menghindari paparan Covid-19, memilih tetap di rumah. Kalaupun terpaksa keluar rumah, patuh mengikuti protokol kesehatan. Memakai masker, menjaga jarak aman, menghindarai kerumunan, cuci tangan dengan sabun di air mengalir.Â
Pada saat di rumah ini pun perlu menyesuaikan dengan cepat karena terbiasa beraktivitas di luar rumah, sehingga saat menyelesaikan pekerjaan kantor bisa konsentrasi. Namun  bekerja di rumah tentu banyak gangguan, apalagi yang mempunyai anak-anak masih balita dan batita, ada rengekan dan keributan , dapat membuyarkan penyelesaaian pekerjaan.Â
Tantangan semakin berat bagi ibu yang bekerja kantoran. Selain urusan rumah tangga yang selalu ada, masih dituntut menggantikan peran guru kelas membimbing anak-anaknya mengerjakan tugas sekolah.