Kata orang bijak kekayaan yang tidak ternilai harganya adalah kesehatan. Namun orang kadang tidak menyadari memiliki kekayaan yang tidak kasat mata, karena dalam benaknya kekayaan itu hanya berupa harta benda yang dapat dinilai dengan rupiah. Orang baru sadar ketika nikmat sehat itu dikurangi sedikit saja karena gangguan kesehatan, dan harus istirahat apalagi dirawat di Rumah Sakit.
Bayangkan, udara yang ketika sehat dapat dihirup bebas dan gratis, saat di Rumah Sakit oksigen itu berbayar. Belum tempat tidur, menu makan yang tidak berasa karena arahan ahli gizi, obat, kunjungan dokter, penggunaan alat laboratorium, perawatan semua berbayar.
Artinya orang baru merasakan, mensyukuri nikmat sehat, ketika nikmat itu hilang. Walaupun diakui, ketika diuji sakitpun masih ada yang tidak ikhlas menerimanya, padahal sejatinya sakit itu sebagai penggugur dosa ketika sabar menerima ketentuanNya.
Saat sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit itulah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena banyak komponen yang harus dibayar. Sebelum ada BPJS yang mendapat jaminan kesehatan hanya PNS/ASN dengan Askes (Asuransi Kesehatan), TNI dan Polri (Asabri) yang setiap bulan iuran langsung potong gaji, sehingga tidak terasa sudah membayar iuran tanpa mengeluarkan uang.
Setelah ada UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), asuransi kesehatan itu berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Bunyi pasal 19 menyebutkan:"Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi dan prinsip ekuitas (ayat 1). Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin peserta memperoleh manfaat pemeriharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (ayat 2).
Dari UU No.40 Tahun 2004 tersebut yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPR, selanjutnya terbitlah UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS). Prinsip BPJS kegotong royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, dan kepesertaan bersifat wajib. Artinya ada semangat kegotong royongan, saling tolong menolong dan subsidi silang untuk biaya pengobatan orang yang sakit, tidak dipungut biaya sama sekali alias gratis.
Syaratnya sudah terdaftar sebagai peserta BPJS dan membayar iuran setiap bulan sesuai kelas yang diinginkan. Masalahnya, jumlah peserta BPJS dengan jumlah iuran yang masuk dan pengeluaran membayar orang yang sakit tidak berbanding lurus. Lebih banyak pengeluaran daripada iuran yang masuk.
Akibatnya pihak BPJS mengalami defisit keuangan, dan untuk menutup iuran dinaikkan. Pada awal-awal berlaku BPJS, semua penyakit dan semua biaya rumah sakit ditanggung oleh BPJS, walaupun peserta belum memberi kontribusi membayar iuran tiap bulan.
Mengingat setiap orang berhak untuk sehat, dan saat sakit semua biaya ditanggung BPJS sebagai konsekwensi dari pelaksaan UU No.40 Tahun 2004 pasal 19 (2). Padahal kondisi ini belum diiringi kesadaran peserta memenuhi kewajiban membayar iuran BPJS setiap bulan.
Artinya mendapatkan hak pemeliharaan kesehatan belum diimbangi dengan kesadaran untuk membayar iuran. Akibatnya seperti yang dikatakan Menko Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto:"kenaikan iuran untuk menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan, yang saat ini memiliki masalah keuangan yang cukup besar".
Semestinya kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, namun juga kebijakan yang dikeluarkan dengan menaikkan iuran yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung menjadi kebijakan yang kurang populis, disaat pandemi Covid-19.