Saat ini ketika pelanggan dirugikan, dan merasa tidak nyaman dengan pelayanan yang diberikan, langsung protes, ada yang dengan marah-marah berargumen.
Menghadapi kondisi demikian, petugas tidak boleh terpancing emosi, dan memberi kompensasi, kemudahan, misal snack, nasi boks, penginapan, uang seharga tiket (untuk penerbangan yang tertunda).
Macam-macam kompensasi ini sebagai bentuk pertanggungjawaban profesional pihak penyedia jasa. Juga sebagai wujud pengakuan pelanggan adalah raja, wajar mendapatkan pelayanan yang menyenangkan dan memuaskan. Â
Disisi lain masih ada yang tidak memposisikan pelanggan sebagai raja, khususnya untuk penyedia jasa kuliner. Berdasarkan pengamatan, semakin terkenal, dikunjungi banyak orang, pelayanan semakin kurang berkualitas, apalagi profesional.
Pelanggan harus menunggu berjam-jam (lebih 2 jam), sungguh menghabiskan waktu, atau antri tempat duduk karena  sudah penuh. Suasana tidak  kondusif karena ramai, banyak orang lalu lalang.
Seakan posisi tawar pelanggan lebih rendah dari penyedia jasa kuliner. Semestinya kalau pelanggan banyak perlu melakukan terobosan, dan inovasi atau menambah personil pegawai dan meningkatkan keterampilannya, sehingga cekatan dan tanggap saat memberi saat pelayanan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Penulis pernah mengalami pelayanan yang menyenangkan di tempat kuliner. Pada waktu itu bulan puasa, bayangkan harus menunggu 2 jam lebih, padahal berbuka tinggal 30 menit.
Ada lagi tempat kuliner yang pelayanannya jutek, tidak ramah, tanpa senyum, tidak respek. Mendapat pelayanan demikian lebih baik mundur dan mencari tempat kuliner yang lain, walau pergi dengan menahan lapar.
Pernah juga membeli menu lauk untuk dibawa pulang, ternyata tidak sesuai harapan rasa, warna, bahan, cara menyajikan.
Mendapat pengalaman tidak mengenakkan ini, lebih memilih tidak akan kembali, apalagi merekomendasikan kepada orang lain.
Jadi siapa yang rugi ?