Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Listrik Bukan Sekadar Penerangan dalam Kegelapan

9 Agustus 2019   18:41 Diperbarui: 12 Agustus 2019   14:42 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih terbayang dalam ingatan ketika belum ada listrik masuk desa, jalanan gelap gulita saat malam hari. Kalau jalan kaki di malam hari penerangan mengandalkan sinar bulan, senter,  atau membawa obor dan daun "blarak" (daun kelapa kering). Belajar dengan lampu sentir, yang sering menimbulkan jelaga hitam, teplok, atau petromak bagi yang mampu membeli. Dapat dibayangkan kalau malam hari hujan, gelap, jalan becek, bila tidak hati-hati dapat terpelecet. 

Seminggu sekali menyetrumkan accu ke kota sekedar untuk dapat menyetel TV hitam putih. Nonton bareng (nobar) siaran ketoprak dengan tetangga kanan kiri, adalah hal biasa. Mereka sudah sangat riang duduk lesehan menggelar tikar nonton acara TVRI sampai selesai. Maklum tahun 1970 an TV, radio, kendaraan bermotor, termasuk barang mewah yang masih jarang dimiliki oleh orang desa. 

Namun semua itu tinggal kenangan, dan kondisi ini tidak pernah dialami oleh generasi milenial, karena listrik sudah masuk ke pelosok desa. Walau diakui, di desa wilayah Indonesia bagian Timur masih merasakan kegelapan di malam hari karena belum ada aliran listrik, apalagi sinyal provider.

Setelah listrik masuk desa, suasana desa mulai berubah dan berbenah. Rumah penduduk dan jalan desa terang benderang. Para pelajar dan mahasiswa belajar lebih giat dan perekominian pedesaan menggeliat. Apalagi di perkotaan listrik menjadi tumpuhan industri, sumber energi, sarana hiburan, penghasil panas dan penghasil gerak. 

Artinya listrik bukan sekedar penerang dalam kegelapan, tetapi juga dapat menggerakkan kehidupan, yang pada era teknologi informasi dan komunkasi ini semakin dibutuhkan. Semua orang mempunyai ketergantungan dengan energi listrik, baik untuk kegiatan di dunia nyata dan maupun maya.

Apabila SUTET 500 kV Ungaran-Pemalang tiba-tiba ada gangguan yang menyebabkan pemadaman (blackout), seperti yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2019, berimbas pada semua aktivitas kehidupan. Tentu hal ini dapat menimbulkan bencana dan kerugian. Berita viral di media massa dan media sosial ketika terjadi pemadaman mendadak selama 6 jam di wilayah Jabodetabek, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah. 

Kerugian tidak hanya dialami oleh para ibu yang menyusui karena stok ASI mengalami kerusakan. Dunia industri mengalami kerugian selama pemadaman, lalulintas darat, udara, laut terganggu. Termasuk perjalanan kereta bawah tanah dan KLR yang memanfaatkan listrik.

Aktivitas di dalam rumah tangga pun dapat terganggu, yang tadinya serba praktis, tinggal pencet tombol atau menyentuh layar "touch screen", harus kembali ke manual. Masalahnya semua urusan di rumah itupun sudah terkonsep memakai listrik. Coba perhatikan apakah masih ada rumah tangga yang memiliki sumur dengan fasilitas kerekan dan ember untuk menimba ?

Di desa masih bisa dijumpai sumur dengan falisitas untuk menimba, bagaimana di perkotaan padat penduduk ?. Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci, tempat menanak nasi, setrika, semuanya tergantung pada listrik. TV, komputer, ipad, handpone, baterainya harus diisi dengan tenaga listrik.  

Singkat kata, semua aktivitas yang memanfaatkan listrik sebagai energinya terhenti. Komunikasi, pelayanan berbasis internet terganggu dan terhenti. Dunia perbankan tidak dapat melakukan transaksi karena sedang off line. 

Penerbangan terganggu, berapa orang yang dirugikan karena tertundanya bertemu dengan rekan bisnis?. Pelayanan rumah sakit terganggu, pabrik mengalami kerugian karena gangguan pada proses produksi atau gagal produk.

Termasuk perpustakaan digital yang saat ini diandalkan di berbagai perguruan tinggi karena modern dan hebat, "terpaksa" memasang pengumunan "maaf pelayanan perpustakaan digital sedang off". Semua rencana tertunda, penelusuran tidak dapat dilakukan dan data tidak dapat diakses. Akibatnya "terpaksa" kembali ke koleksi cetak sebagai bahan referensi hasil penelitian. 

Artinya koleksi cetak tetap perlu dikoleksi walau dalam jumlah eksemplar yang terbatas, di tengah maraknya perpustakaan digital. Apalagi ada yang membanggakan konsep "digilib cafe" yaitu perpustakaan digital yang menyediakan ruangan untuk cafe di suatu perguruan tinggi, di akui sebagai idenya. 

Padahal sejatinya tinggal melanjutkan rintisan yang telah dibuat oleh pendahulunya. Saat diminta pendapatnya ketika membuat proposa tentang digilib cafe, tidak secuil pun ide  dikeluarkan. Sekarang apa yang bisa dibanggakan perpustakaan digilib cafe ketika listrik padam ?. Masihkah menepuk dada mengakui semua itu idenya ?.

Yogyakarta, 9 Agustus 2019 Pukul 18.38.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun