Negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke mempunyai posisi yang stategis, secara geografi terletak diantara benua Asia dan Australia, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara ekonomi memberi keuntungan karena menjadi jalur persimpangan perdagangan barang dan jasa. Namun perlu diingat dibalik posisi strategis tersebut ternyata Indonesia sebagai daerah yang rawan bencana alam, gempa bumi, tsunami, likuifaksi, erupsi gunung berapi.
Bentangan garis katulistiwa yang melintas di Indonesia juga memberi konsekwensi sebagai daerah tropis, yang hanya memiliki 2 (dua) musim yaitu musim hujan dan kemarau. Angin laut membawa banyak hujan, apabila curah hujannya tinggi dapat menyebabkan daya tampung sungai menurun dan secara alamiah air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah agar bisa sampai ke laut. Air diakui sebagai sumber kehidupan yang sangat diperlukan oleh setiap orang. Namun ketika air melimpah dapat menjadi sumber bencana yang merugikan kehidupan manusia.
Istilah "bencana" menurut pasal 1 angka 1 UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah:"Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis".
Bencana banjir yang terjadi di berbagai daerah sebagai fenomena alam ataupun ulah manusia sendiri. Curah hujan yang tinggi, Â mengakibatkan korban jiwa, harta benda, rusaknya infrastuktur dan lingkungan. Banjir bukan hanya berupa air, tetapi bisa lumpur, lahar dingin, dan rob akibat gelombang tinggi.
Banjir dapat terjadi karena tidak seimbangnya air yang mengalir dengan ruang saluran untuk mengalir air dan daya serap tanah terhadap air yang ada. Aliran air terhalang, khususnya di kota-kota besar dan metropolitan sepanjang bantaran sungai menjadi pemukiman padat penduduk. Bangunan semi permanen yang tidak tertata, kurang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kondisi ini terjadi karena tempatnya tergusur untuk kegiatan ekonomi atau pendatang yang semakin berat untuk menyewa atau membeli sepetak tanah yang harganya semakin melangit.
Bertambahnya jumlah penduduk yang masif mengakibatkan persediaan lahan menyempit, sehingga bantaran menjadi tempat bermukim. Padahal sungai seharusnya sebagai tempat untuk mengalir air dari hulu ke hilir, tanpa terhalang oleh apapun. Selain itu aliran air terganggu oleh pendangkalan, tumpukan aneka limbah, sampah plastik, barang-barang bekas yang dibuang di sungai.
Kondisi ini berkaitan dengan kesadaran warga untuk membuat lingkungan bersih tanpa membuangnya di sungai. Sungai bukan tempat pembuangan sampah (TPA), Â ataupun limbah rumah tangga, industri, dan rumah sakit. Aliran air yang meluber tidak pilih-pilih, bisa melewati jalan tanah, aspal, sawah yang siap panen, perkebunan. Daerah pemukiman padat penduduk di bantaran sungai menjadi sasaran aliran air, karena posisinya lebih rendah. Â
Banjir yang terjadi dijalan raya karena sistem drainase yang kurang baik, atau sudah disediakan gorong-gorong tetapi tersumbat sampah akibat ulah orang yang tidak bertanggungjawab. Padahal untuk membersihkan sampah di gorong-gorong tidak dapat dilakukan setiap saat, mengingat birokrasi pemerintah harus melalui prosedur dan ketentuan. Genangan air di jalan raya ini menyebabkan gangguan lalu lintas semakin macet bukan berarti tidak bergerak, tetapi macet mesinnya karena kemasukan air. Lapisan aspalpun cepat rusak sehingga berbahaya untuk pengendara kendaraan bermotor.
Selain itu gerusan air yang terus-menerus tanpa penahan pohon, atau kondisi tanah yang labil sangat rentan dengan bencana tanah longsor. Di daerah perbukitan akibat curah hujan yang tinggi tanpa ada pepohonan yang dapat menahan air meresap kedalam tanah, rawan bencana longsor. Bencana banjir dan tanah longsor dimusim hujan dapat terjadi setiap saat, terutama di daerah aliran sungai, bendungan, dan perbukitan.
Karena sudah sering terjadi maka mitigasi bencana semestinya sudah dipahami oleh semua orang bukan saja yang terdampak, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini penting sebagai upaya preventif dengan penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana kalaupun belum masuk kurikulum di sekolah, minimum diberikan oleh pihak yang berwenang dalam berbagai kesempatan pertemuan warga. Kalau bukan kita siapa lagi yang peduli supaya korban bencana dapat diminimalisir. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi ?
Yogyakarta, 27 Januari 2019 Â Pukul 23.48