Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Publikasi Terindeks "Scopus", Membelenggu atau Memperlancar Karir?

15 Desember 2018   14:44 Diperbarui: 17 Desember 2018   05:11 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas cetak pada 10 Desember 2018 menurunkan tulisan opini Deddy Mulyana guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad berjudul: "Calo Scopus". Singkat, padat, dan membuat penasaran pembaca untuk menyimak. Publikasi terindeks Scopus di kalangan perguruan tinggi dan peneliti menjadi "trend", agar karya ilmiah hasil penelitian dapat terindeks Scopus. 

Sebenarnya istilah Scopus itu berupa pangkalan data pustaka memuat abstrak dan sitiran artikel jurnal akademik di bidang sains, teknik, kedokteran, dan ilmu sosial (termasuk kesenian dan humaniora). Scopus memuat 22.000 judul dan 5.000 penerbit, 20.000 diantaranya sebagai jurnal terakreditasi secara internasional. Penerbit Scopus adalah Elsevier, tersedia secara daring dengan model berlangganan.

Para peneliti, dosen, dan penyandang jabatan fungsional (pustakawan, dokter, guru, dan lain-lain) dapat melakukan penelitian yang menghasilkan karya tulis ilmiah. 

Dosen dan peneliti pasti sangat paham penelitian yang terindeks Scopus, karena dapat meningkatkan reputasi ilmiahnya dalam kancah komunikasi ilmiah secara internasional. Apalagi penelitian yang mempunyai unsur inovasi, kebaruan sehingga mempunyai hak paten, dapat didaftarkan di Dirjen Haki Kemenhumham. 

Untuk  jabatan fungsional lainnya juga terbuka, asal memenuhi syarat dan ketentuan. Karya ilmiah setelah direview oleh para ahli di bidangnya, layak dimuat dalam jurnal ilmiah terakreditasi secara internasional, dapat terindeks dalam Scopus. 

Untuk mewujudkan jurnal ilmiah terakreditasi internasional pun perlu proses dan jalan panjang, jadi tidak asal membuat jurnal, harus ada redaksi, terbit teratur, tata letak tidak berubah, bidang kajian, mitra bestari, online, bahasa Inggris, aturan redaksi syarat pemuatan artikel.

Sering, jurnal ilmiah yang awalnya susah untuk mendapatkan artikel, setelah terakreditasi nasional baik oleh Dikti maupun LIPI, redaksi sampai menolak naskah. Padahal jurnal terbit setahun sekali atau 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat) kali (jarang ada jurnal ilmiah setahun sampai 4 kali karena proses  review juga perlu waktu. 

Setelah terakreditasi nasioanal --apalagi internasional-- naskah ilmiah sampai antri untuk menunggu dapat dimuat. Naskah yang dimuat dalam jurnal terakreditasi internasional penulisnya tidak mendapat honorarium, namun di Indonesia masih ada anggaran honorarium penulis yang dihitung per halaman, maksimum 20 halaman.

Konsekuensinya bila karya ilmiah masuk dalam indeks Scopus, maka nama penulis otomatis mendapat pengakuan oleh komunitas ilmiah tingkat dunia karena sudah melalui seleksi dan poses panjang yang sangat ketat. 

Dan ditambah lagi tulisannya menjadi referensi orang lain untuk menghasilkan karya tulis ilmiah baru. Reputasi penulis jurnal ilmiah semakin "bertengger" di tangga atas dan kepakarannya diakui dunia oleh kaum cendekiawan. Hal ini bukan saja mendapatkan angka kredit untuk meniti karirnya ke puncak sebagai Profesor di Perguruan Tinggi, tetapi juga mendatangkan pundi-pundi rupiah dengan label "konsultan", narasumber, pakar, penasihat, sampai pelindung.

Dosen dituntut untuk melakukan penelitian sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Permenristekdikti No.20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, untuk memacu para profesor dan lektor kepala mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal internasional bereputasi. 

Hasilnya kebijakan tersebut mampu mendorong publikasi internasional Indonesia terindeks Scopus di urutan ketiga se Asia Tenggara dibawah Malaysia dan Singapura dengan 15.419 publikasi di akhir 2017 (sumber).

Jadi publikasi terindeks Scopus itu membelenggu atau memperlancar karir para pemegang jabatan fungsional, sangat tergantung pada masing-masing orang/individu dalam menyikapinya. Bisa jadi dapat membelenggu, karena untuk menghasilkan karya ilmiah dimulai sejak pengajuan proposal, melakukan penelitian,  membuat laporan dan naskah publikasi ilmiah. 

Semua perlu perjuangan, kerja keras, pengorbanan tenaga, biaya, waktu, pikiran. Lagi-lagi kemauan, kesempatan, dan kemampuan untuk menulis proposal, walau berkali-kali mengikuti workshop penulisan metodologi penelitian buktinya masih banyak yang terkendala. Belum untuk melakukan penelitian dan membuat laporan serta naskah publikasi untuk dimuat dalam jurnal terakreditasi internasional. Disinilah sering membuka peluang untuk muncul "calo Scopus" yang disinyalir oleh profesor dari Unpad, karena yang mempunyai "link" dengan jurnal ilmiah terakreditasi internasional.

Sebaliknya dapat memperlancar karir karena sejak awal memilih profesi sesuai dengan "passion", sehingga senang, bersemangat, menghadapi tantangan untuk menghasilkan karya ilmiah yang terinsdek Scopus. 

Mendapatkan reputasi tanpa mengabaikan integritas, etika penulisan, penelitian dan sitasi. Semua memerlukan pengorbanan dan perjuangan, tidak ada yang instan untuk meniti karier mulai dari tangga paling bawah untuk menuju puncak. 

Jadi memilih profesi itu pasti ada resiko, konsekuensi, kewajiban dan hak yang menyertainya. Apapun pilihan profesinya yang pasti itu menjadi tempat pengabdiannya yang memberi manfaat bagi keluarga, institusi, nusa dan bangsa.

Yogyakarta, 15 Desember 2018 Pukul 13.47

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun