Hasilnya kebijakan tersebut mampu mendorong publikasi internasional Indonesia terindeks Scopus di urutan ketiga se Asia Tenggara dibawah Malaysia dan Singapura dengan 15.419 publikasi di akhir 2017 (sumber).
Jadi publikasi terindeks Scopus itu membelenggu atau memperlancar karir para pemegang jabatan fungsional, sangat tergantung pada masing-masing orang/individu dalam menyikapinya. Bisa jadi dapat membelenggu, karena untuk menghasilkan karya ilmiah dimulai sejak pengajuan proposal, melakukan penelitian, Â membuat laporan dan naskah publikasi ilmiah.Â
Semua perlu perjuangan, kerja keras, pengorbanan tenaga, biaya, waktu, pikiran. Lagi-lagi kemauan, kesempatan, dan kemampuan untuk menulis proposal, walau berkali-kali mengikuti workshop penulisan metodologi penelitian buktinya masih banyak yang terkendala. Belum untuk melakukan penelitian dan membuat laporan serta naskah publikasi untuk dimuat dalam jurnal terakreditasi internasional. Disinilah sering membuka peluang untuk muncul "calo Scopus" yang disinyalir oleh profesor dari Unpad, karena yang mempunyai "link" dengan jurnal ilmiah terakreditasi internasional.
Sebaliknya dapat memperlancar karir karena sejak awal memilih profesi sesuai dengan "passion", sehingga senang, bersemangat, menghadapi tantangan untuk menghasilkan karya ilmiah yang terinsdek Scopus.Â
Mendapatkan reputasi tanpa mengabaikan integritas, etika penulisan, penelitian dan sitasi. Semua memerlukan pengorbanan dan perjuangan, tidak ada yang instan untuk meniti karier mulai dari tangga paling bawah untuk menuju puncak.Â
Jadi memilih profesi itu pasti ada resiko, konsekuensi, kewajiban dan hak yang menyertainya. Apapun pilihan profesinya yang pasti itu menjadi tempat pengabdiannya yang memberi manfaat bagi keluarga, institusi, nusa dan bangsa.
Yogyakarta, 15 Desember 2018 Pukul 13.47