Buku ini menceriterakan kisah nyata perjalanan hidup para penerima bidikmisi dengan segala keterbasan fasilitas, tetapi secara intelektual melebihi rata-rata (biasanya juara paralel kelas masuk 5 besar).
Nilai rupiah sangat berarti bagi mereka untuk bertahan hidup dan menjalani kuliah dengan tuntutan target 4 tahun selesai. Uang sebesar Rp 650.000,- harus dicukupkan untuk biaya makan dan kos selama sebulan.
Bisa dibandingkan bagi kelas atas, sosialita, selebritis, orang-orang gedongan, uang sebesar itu hanya untuk sekali makan di cafe/restoran biasa. Namun bagi kelas kebanyakan, itu sangat berarti untuk menyambung hidup hari-harinya.Â
Bahkan ada yang rela menjadi "marbot" (orang yang mengurus masjid, terutama dengan kebersihan lingkungan). Disinilah kepedulian, empati, simpati, lingkungan sosialnya sangat diperlukan.
Orang-orang kelas atas tidak pernah merasakan dinginnya malam, perihnya perut kosong karena harus berpuasa menghemat uang saku. Mereka (orang-orang kelas atas), baru bisa merasakan setelah fasilitas itu tidak didapatkan (namun jarang mengalaminya).Â
Misalnya saat melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah 3 T (terdepan, terluar, tertinggal), dapat merasakan nikmat dan mensyukurinya setelah "sesuatu" (fasilitas) yang biasa dimiliki tidak ditemukan (hilang). Biasa naik mobil berAC, dipaksa naik angkot (truk), yang panas dan pengap. Awalnya pasti tidak nyaman karena tidak terbiasa, lama-lama menjadi biasa.Â
Pernah KKN tahun 1982 di suatu desa  daerah Yogyakarta dekat sungai Progo, satu regu dengan anak  Kedokteran Gigi (KG), kedua orang tuanya dokter, dosen, profesor di universitas ternama, tidak bisa menimba air sumur dengan alat penimba dan tidak bisa mencuci baju. Jangan tanya bisa masak apa tidak. Kalau di rumah semuanya yang mengerjakan asisten rumah tangga, tugasnya di rumah hanya kuliah dan belajar.
Beruntung teman KKN tersebut cepat menyesuaikan/berdamai dengan perubahan dan keadaan sehingga tidak menimbulkan masalah berarti. Dalam kondisi begini, orang biasa menularkan ilmunya menimba air dan mencuci baju. Tempat KKN menjadi wahana untuk belajar langsung masalah kehidupan nyata.Â
Biasanya sekelompok  KKN anggotanya mempunyai latar belakang sosial ekonomi, pengalaman, pengetahuan, agama, asal usul, kebiasan berbeda yang dapat menumbuhkan rasa solidaritas, toleransi, persatuan dan kesatuan, senasib, sepenanggungan.Â
Jadi ketika sesuatu (listrik diganti lampu teplok), biasa makan enak, diganti dengan makanan/lauk pauk seadanya ala desa, air sumur harus menimba, mencuci baju sendiri. Semuanya itu menimbulkan kenikmatan yang luar biasa ketika berada di rumah sendiri, namun baru terasa di tempat KKN, sehingga mensyukuri nikmat dan karuniaNya. Â
 Artinya kenikmatan baru terasa setelah "sesuatu" (fasilitas) yang selama ini dimanfaatkan tidak ditemui di tempat lain karena kondisinya yang lebih memprihatinkan.