Bukan hal aneh bila nilai 8 (delapan) dalam rapot dari siswa SMA itu mempunyai bobot dan kualitas tidak sama dengan SMA lain dalam satu kota sekalipun. Padahal ketika diterima di PTN tanpa tes, nilai 8 (delapan) itu "dianggap" sama. Akibatnya dalam tahun pertama kuliah, selain ada evaluasi prestasi berdasarkan IPK minimum 2.0 dan perolehan SKS minimum 30. Kalau demikian prestasinya, maka terancam Drop Out (DO).
Oleh karena itu Menristek dan Dikti Mohammad Nasir, tahun 2019 membuat gebrakan yang revolusioner berkaitan dengan seleksi masuk mahasiswa baru, yang lebih mengedepankan ujian tertulis dengan menambah kuota yang diterima. Calon mahasiswa mengikuti ujian tertulis dengan UTBK dilaksanakan 24 kali dalam 12 hari setiap tahun, pada hari Sabtu dan Minggu.
Hasil UTBK ini baru dibawa ke PTN untuk mendaftar. Artinya penerimaan calon mahasiswa baru dengan sistem lama seperti tahun 2018 dan sebelumnya, sudah tidak berlaku lagi, dimana mendaftar dulu baru tes tertulis serentak seluruh Indonesi hanya sehari di hari Minggu tinggal menjadi kenangan.
Seperti yang dikatakan oleh Menristek dan Dikti: "Mulai tahun 2019 pelaksanaan SBMPTN diubah, ujian tulis berbasis kertas dan berbasis komputer yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia selama satu hari ditiadakan. Tes tertulis dilakukan lewat UTBK yang dapat diikuti calon mahasiswa kapan saja selama periode ujian, maksimum dua kali tes".
Penyelenggaraan UTBK lembaga tes masuk perguruan tinggi (LTMPT) dengan tes potensi skolastik untuk mengukur kemampuan penalaran dan pemahaman umum, ini penting untuk mengukur keberhasilan di sekolah formal. Sedang tes potensi akademik untuk mengukur penguasaan materi yang diajarkan di sekolah dengan soal-soal higher order thingking skills (Kompas, 23 Oktober 2018).
Lulusan SMA yang sudah siap secara lahir batin, dengan persiapan ilmu yang diperoleh selama di SMA/SMK dan sederajat tidak ada masalah dengan sistem seleksi apapun. Apalagi anak yang berprestasi, nilai-nilai yang terukir dalam rapot dapat dipertanggungjawabkan baik dengan tanpa tes maupun dengan tes tertulis. Semuanya itu dapat dibuktikan dengan nilai-nilai ujian selama kuliah dengan IPK Â "cum laude" .
Apapun sistemnya kejujuran itu tetap membuahkan hasil yang membanggakan. Jadi mulailah mengukir prestasi sejak dini dengan berpegang teguh pada nilai-nilai moral, yang beretika dan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan.Â
Tidak ada kata terlambat untuk mulai "jujur" dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan untuk menggapai asa setinggi langit. Berani jujur itu hebat, seperti semboyan KPK.
Yogyakarta, 24 Oktober 2018 Pukul 00.12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H