Profesi pustakawan di Indonesia yang tergabung dalam organisasi bernama Ikatan Pustakawan Indonesia disingkat IPI, sebagai satu-satunya wadah tunggal yang diakui sah untuk organisasi pustakawan. Kalaupun ada organisasi kepustakawanan lain, IPI tetap sebagai payungnya. IPI tanggal 9 - 12 Oktober 2018 mengadakan Kongres XIV dan Seminar Ilmiah di Surabaya, Jawa Timur. Konggres yang diadakan tiap 3 (tiga) tahun sekali ini dihadiri oleh 725 peserta yang berasal dari seluruh Indonesia. Peserta Kongres terdiri dari Pengurus Pusat,Pengurus Daerah IPI, Dewan Pembina dan Pemimpin. Jumlah pustakawan saat ini menurut data ada 3.509 (http://pustakawan.perpusnas.go.id/), artinya walaupun tidak semua peserta adalah pustakawan, karena ada pengamat, peminat, dan dosen ilmu perpustakaan, acara yang selalu dinantikan ini dapat menyedot peserta yang banyak.
Organisasi profesi pustakawan menurut pasal 34 (2) dan 35 (c) UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan berfungsi untuk memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan. Selain itu memberi perlindungan hukum kepada anggotanya. Namun hal ini rupanya belum dilakukan, akibatnya kalau ada anggota yang mengalami masalah berkaitan dengan jabatan/pangkat profesi pustakawan, tidak ada "pendampingan" secara hukum.Â
Kalaupun ada mediasi, didengarkan permasalahannya, tetapi tindak lanjutnya tidak memberi solusi. Padahal kalau permasalahnya lintas departemen, semestinya IPI mempunyai wewenang untuk melakukan mediasi secara formal dan in formal. Hal ini sudah sering dilakukan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang langsung turun tangan ketika ada anggota yang mengalami persoalan berkaitan dengan profesinya. Artinya sangat kuat ikatan batin "korps" karena sakitnya anggota dirasakan oleh pengurus IDI.
Dalam setiap kesempatan selalu dikatakan pustakawan sebagai motor penggerak perpustakaan yang perannya sangat penting dalam proses pembangunan berkelanjutan. Bahkan slogan "pustakawan bergerak", dituntut untuk cepat beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan zaman. Wawasan dan pengetahuan harus selalu "up to date" , sehingga ketika menyediakan informasi bagi masyarakat juga informasi yang "up todate", pelayanan prima berbasis teknologi informasi dan komunikasi.Â
Apalagi menghadapi revolusi industri 4.0 pustakawan harus siap, agar tidak "tergagap", tersingkir, dan terpinggir. Dituntut mempunyai kompetensi, dengan melalui uji kompetensi, saat ini yang telah mengikuti  492 orang, sudah lulus 339 orang, dan belum lulus 153 orang (www.pnri.go.id). Padahal untuk menghadapi era desrupsi 4.0 sangat diperlukan pustakawan yang menguasai teknologi tinggi, progresif, ramah, dinamis, supel, dan tetap mempunyai sopan santun. Â
Namun tanpa disadari kebijakan "inpassing" PNS untuk masuk menjadi pustakawan justru memblunder. Mengapa ? Karena pengangkatan pustakawan tidak sesuai dengan yang tertuang dalam UU No.43 Tahun 2007, harus mempunyai ijazah minimum D2 ilmu perpustakaan, atau D2 ilmu lain plus diklat kepustakawanan yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional. Alasan dilakukan inpassing karena kekurangan pustakawan yang pensiun dengan pengangkatan PNS tidak imbang.Â
Akibatnya lulusan SMA yang sudah PNS dapat menjadi pustakawan asal memenuhi syarat minimum sudah bekerja selama 2 (dua) tahun di perpustakaan. Artinya ada degradasi persyaratan dari lulusan D2 ilmu perpustakaan menjadi lulusan SMA. Sementara disisi lain banyak lulusan D2, bahkan S1 ilmu perpustakaan yang belum terserap di lapangan kerja. Jumlah perpustakaan  di Indonesia ada 251.428 lembaga/institusi. Ironis bukan ?. Padahal untuk meningkatkan literasi di Indonesia, pustakawan mempunyai andil yang signifikan.
Paradigma pustakawan masa depan harus menjadi bagian dari masyarakat, aktif dan proaktif, tidak diam, menunggu pemustaka datang untuk meminjam koleksi, apalagi datangnya "godot" berupa "proyek". Tidak ada lagi kerja dengan sistem proyek, karena itu memang sudah menjadi kewajiban yang harus dikerjakan pustakawan. Tunjangan kinerja (tukin) pustakawan PNS (bagi yang mendapat) itu sudah termasuk pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan diskripsi kerja.Â
Pustakawan harus menjadi bagian dalam pembangunan berkelanjutan, melakukan transformasi pola pikir dan pola tindak. Dituntut mampu menunjukkan kinerjanya kepada lingkungan. Jadi tidak hanya berkutat di masalah pengembangan, klasifikasi bahan pustaka, tetapi tidak ada pemustaka yang datang. Akibatnya pustakawan tidak dikenal oleh pimpinan, karena "asyik" melakukan pekerjaan rutinitas sehingga lupa sosialisasi dengan lingkungan. Kalau sudah begini jangan salahkan pimpinan, tidak sepantasnya berkeluh kesah pimpinan tidak memperhatikan. Bagaimana pimpinan memperhatikan kalau tidak pernah ada laporan kinerja sebagai pertanggungjawaban formal, informal dan moral ?.
Kongres IPI ke-XIV semoga semakin meningkatkan kinerja pustakawan, untuk berperan mengedukasi masyarakat lingkungannya. Apalagi di daerah bencana, semestinya IPI menggerakkan anggotanya untuk berpartisipasi memulihkan trauma korban di pengungsian dengan bahan bacaan supaya tidak bosan dan sedih berkepanjangan. Membangkitkan semangatnya dengan membaca buku-buku yang memberi motivasi untuk para korban bencana. Pasti profesi pustakawan akan dikenang oleh banyak orang.Â
Bekal pengetahuan yang diberikan pustakawan dapat bermanfaat untuk orang banyak. Percayalah kalau pustakawan sudah melakukan ini semua pasti tidak dipandang sebelah mata oleh lingkungannya. Jadi sebenarnya pustakawan sendiri yang membuat orang lain/lingkungan memandang dengan mata sebelah. Â