Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan aneka ragam flora, fauna, budaya, bahasa, tradisi, yang beraneka ragam, sangat membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi "pengayom", pemersatu, pelindung, memberi rasa tenang, aman, nyaman.  Bicara masalah politik bagi penulis jujur mengakui bagaikan  membuka luka lama, karena pernah bekerja di lingkungan orang-orang yang mempunyai ilmu politik, dan ironisnya menjadi "korban" politik birokrasi. Masalah politik bukan ranahnya, namun sebagai orang yang awam merasakan permainan politik praktis dalam birokrasi. Terbukti  dapat menghancurkan, menumpas, mematikan, menghadang, menerjang, perjalanan karir seseorang yang sudah dibina puluhan tahun dengan perjuangan dan air mata. Tanpa pernah merasa berdosa untuk menghakimi, menyingkirkan, dan membinasakan orang yang "dianggap" rival dan penghambatnya. Sungguh politik itu identik dengan "tsunami" kehidupan yang dapat merusak, meluluhlantahkan apapun yang di depannya.
Padahal  sejatinya politik adalah upaya menuju kehidupan demokrasi yang menjadikan suara rakyat bagaikan suara Tuhan (vox populi, vox dei), yang ketika sebelum reformasi didelegasikan kepada para wakilnya yang terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak 2004 rakyat langsung memilih calon pemimpin melalui pemilihan presiden (pilpres), yang saat ini sudah memasuki tahap kampanye. Deklarasi Kampaye Damai sudah dikumandangkan pasangan  Capres dan Cawapres. Perbedaan pendapat adalah hal biasa dalam berdemokrasi, yang semestinya dihormati, bukan dicacimaki dengan merendahkan martabat dan harga diri. Apalagi di Indonesia dengan demokrasi Pancasila, sebagai sistem politik yang berlandaskan Pancasila. Menarik simpati konstituen bukan saja beradu program, tetapi mampu memberi rasa pengayoman, ketenangan, kedamaian, ketenteraman, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Kampanye sebagai representasi pendukung antar para Capres dan Cawapres. Para tim sukses menjadi kunci bagi rakyat untuk menentukan plihannya. Rakyat semakin cerdas, dengan mendengarkan  ucapan, melihat sikap, tindakan dari  jurkam/timses, dapat  menambah referensi pilihannya. Rakyat bukan lagi obyek yang mudah diadudomba, gampang tersulut emosinya, dengan informasi dan berita sampah. Namun sebagai subyek yang mempunyai hati nurani untuk mencerna, menyaring, meresapkan, memilih, dan memilah informasi yang sengaja maupun tidak sengaja dijadikan umpan untuk memancing  suasana semakin keruh, tidak damai dan tidak nyaman . Rakyat lebih senang kejujuran (kesamaan ucapan dan tindakan), kejelasan, kesantunan, bukan yang mengelabuhi, rekayasa, trik-trik yang kurang bermartabat.
Rakyat lebih senang kampanye yang meneduhkan hati, suasana kerukunan, kedamaian, persatuan, kesatuan bukan perdebatan "kusir", saling menjatuhkan, mencela, menghina, dan mencaki maki dengan kata tidak sopan dan pantas. Beradu program yang langsung dirasakan oleh rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman, kenyamanan, keamanan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pilihan boleh berbeda, namun persaudaraan, kekeluargaan, rasa empati, simpati, kegotong royongan tetap terpelihara dan terjalin. Bukan karena pilpres menjadikan keluarga terpisah, terluka, tercederai, terputus silaturahmi karena pilihan dan yang didukung berbeda. Disinilah indahnya perbedaan, yang justru semakin mengeratkan silaturahmi antar anggota keluarga, bukan memisahkannya.
Kalaupun kecewa dengan situasi dan kondisi politik yang semakin memanas menjelang pilpres 2019, bukan berarti saat pilpres menjadi netral. Artinya melakukan golput, cuek, tidak berpartisipasi, dan tidak memilih salah satu dari dua pilihan. Tindakan golput justru merugikan sendiri karena suara/aspirasinya tidak tersalurkan. Siapapun yang menang itulah pilihan rakyat yang dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). Bagi yang menang tidak menjadi "jumawa" dan yang kalah tidak mengamuk, "menang tanpa ngasorake, artinya yang menang tidak merendahkan yang kalah. Kondisi ini yang belum diresapi oleh kita yang mempunyai filosofi luhur.
Menang dan kalah adalah hal yang biasa dalam suatu kontestasi politik, yang masih menjadi PR bersama adalah menumbuhkan budaya menerima kekalahan dengan sabar, ikhlas, dan mengakui keunggulan pihak yang menang. Sebaliknya yang menangpun harus dibudayakan tidak berlaku sombong atas kemenangannya. Andaikan budaya ini sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, maka pemilu, pilpres, adalah peristiwa rutin lima (5) tahunan yang tidak harus menambah suhu politik. Semua berjalan seperti biasa, wajar, normal, aman, damai, tenang, dan sejahtera. Walaupun ada "godaan" dari provokator yang membikin suasana  tegang, ricuh, saling menyakiti, menghujat, kalau kita sebagai orang Indonesia yang berpijak di bumi,  yang sama tanah air, bahasa, dan bangsa Indonesia, maka suasana tetap aman dan damai. Untuk apa menanggapi provokator "melempar batu sembunyi tangan", lebih baik tetap menjalin persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Dijamin provokator akan "mati kutu" karena begitu kokohnya ikatan kesatuan ini sehingga tidak mempan oleh provokasi dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Jadi mendambakan kampanye pilpres 2019, berjalan aman dan damai sangat mungkin. Semoga !
Yogyakarta, 11 Oktober 2018 Pukul 09.10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H