Hari Minggu menghadiri undangan pernikahan di daerah Klaten, dalam undangan tertulis acara jam 10.00, yang biasanya tertulis jam 10.0 -- 12.00. Ini bukan salah cetak, tetapi memang sengaja dibuat demikian. Orang sudah paham bahwa acara di mulai jam 10.00 itu saja kalau semuanya dapat lancar. Kebiasaan undangan pernikahan di pedesaan waktunya sangat luwes, tidak seperti di perkotaan apalagi di gedung, karena sudah ada yang antri memakainya. Dalam undangan pernikahan di desa juga tidak pernah ada tulisan:"Tanpa mengurangi rasa hormat, tidak menerima tamu di rumah". Tabu dan tidak sopan bila menolak tamu datang di rumah, sehingga 2 -- 3 hari sebelum hari H pun sudah diterima dengan senang hati oleh tuan rumah.
Kebiasaan di desa kalau hajadan pernikahan bisa sampai seminggu (7 hari), tujuh malam. Mulai pleno rapat panitia, pasang bleketepe dan janur kuning, mengantar hantaran (berupa  nasi dan lauk pauk sering disebut "punjungan" dalam "besek"/anyaman dari bambu, atau kotak kardus), khusus untuk saudara sedarah lebih istimewa di tambah lauknya. Hantaran ini kalau di desa bisa berfungsi sebagai undangan tidak tertulis artinya kalau mendapat hantaran berarti itu diundang dan "etika"nya harus datang dengan memberi bingkisan (uang, kado, bahan mentah). Undangan tertulis hanya khusus bagi kolega, teman sejawat, dan orang-orang yang rumahnya jauh.
Dalam pelaksanaan pesta pernikahan yang diadakan di rumah ataupun di gedung pertemuan ada 2 (dua) model menghidangkan minuman dan makanan sebagai penghormatan. Pertama dengan model prasmanan (standing party), para tamu datang mengisi buku tamu, mengucapkan selamat kepada mempelai dan menikmati hidangan yang disediakan. Biasanya ada menu makan berat (nasi dan lauk pauk macam-macam/buffet, makanan yang tidak mengeyangkan (dalam gubuk-gubuk). Para tamu makan dengan berdiri, karena kursi yang disediakan sedikit. Makan dan minum sambil berdiri sebenarnya kurang nyaman dan nikmat, menurut etika kurang sopan dan menurut agama (Islam) boleh berdiri tetapi lebih utama duduk. Dalam prasmanan semua tamu mengambil sendiri, dan memilih sesuai dengan selera. Khusus tamu VIP, VVIP disediakan kursi yang terpisah dengan tamu umum. Â
Kedua, model "piring terbang", jangan berpikir ada UFO dalam pesta, dan jangan membayangkan  piringnya diterbangkan oleh para pramusaji. Istilah "piring terbang" dalam pesta pernikahan yang menjadi kebiasaan di daerah Klaten, Solo ini mempunyai makna untuk menghormasi para tamu undangan, maka hidangan dilayani oleh para pramusaji. Tamu yang datang setelah mengisi buku tamu, dipersilahkan duduk di kursi yang sudah disediakan. Tamu kehormatan (VIP/VVIP) duduk di kursi yang paling depan. Setelah acara dimulai/dibuka, dengan cara sambutan keluarga, nasehat untuk pengantin, hidangan baru dikeluarkan berupa minuman (teh) dan snack. Sambil mendengarkan musik gamelan/organ tunggal keluar sop tanpa nasi, kemudian nasi yang dibentuk dengan lauk pauk di piring dan terakhir es krim/minuman penutup. Urutan keluarnya hidangan dalam model "piring terbang" ini sering disingkat "USDEK" singkatan dari Unjukan (minuman teh), Snack (makanan ringan), Dahar (makan nasi dan lauk ditata rapi dalam piring), Es (buah/es krim), Kondur (pulang).
Jadi setelah mendapatkan es sebagai pertanda acara segera berkahir dan para tamu segera bernajak antri bersalaman dengan penganti dan orang tuanya. Artinya para tamu kalau datang tepat waktu sesuai undangan harus mengikuti dan menunggu acara sampai usai. Kalaupun pulang duluan, atau datang terlambat, beresiko tidak mendapat hidangan secara komplit berupa USDEK, karena sudah terlewatkan. Model piring terbang ini mempunyai kelebihan tamu duduk manis, hidangan disajikan oleh para pramusaji. Para tamu dapat menikmati dengan nyaman tidak berdesakan, sesuai tuntutan agama makan dengan duduk. Namun model piring terbang mempunyai kekurangan tamu harus mengikuti acara dari awal sampai akhir perlu waktu lama (minimum 2 jam). Hal ini bagi orang yang mempunyai mobiltas tinggi kurang efektif, sehingga pulang lebih awal atau datang terlambat. Kalaupun mau pulang lebih awal bukan masalah tidak dapat USDEK, tetapi untuk keluar dari tempat duduk harus melalui kursi yang diduduki orang, apalagi posisinya di tengah. Sebaliknya bila datang terlambat jatah USDEK beruntun, akibatnya para tamu itu harus "merapel" untuk menikmati hidangan. Jadi model "piring terbang" dalam pesta pernikahan itu bukan ada UFO nya, atau pirignya diterbangkan yang ditangkap ara tamu, tetapi menyajikan hidangan dengan singkatan USDEK. Sungguh istilah USDEK disini tidak ada kaitannya dengan Manifesto politik era Soekarno.
Yogyakarta, 23 September 2018 Pukul 21.48
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H