Dalam kehidupan ini bila disimak, manusia hanya boleh merencanakan, berusaha, dan berdoa selanjutnya yang berhak menentukan semuanya adalah Alloh SWT, yang skenarioNya lebih indah daripada skenario manusia. Hal ini berlaku untuk semua orang tidak pernah melihat orang terkenal, atau orang biasa pernah mengalami mendapatkan PHP dari lingkungan sosialnya.
Bedanya, kalau orang terkenal masalah mendapat PHP menjadi berita, dibahas, dianalisis, oleh orang-orang ahli dibidangnya. Bahkan "gestur" tubuh ketika dalam suatu acara TV pun diamati untuk dibahas. Intinya masalah PHP, di tahun politik ini sedang trend dalam berbagai pembahasan.
Mengutip pendapat  Jonathan Kozol:"False hope is wore than despair/harapan palsu lebih buruk daripada kehilangan harapan".  Juga Winston Churchill mengatakan:"Dalam perang, Anda hanya bisa dibunuh satu kali, tetapi dalam politik Anda bisa dibunuh berkali-kali".
Tulisan ini bukan untuk membahas masalah perpolitikan yang mulai menunjukkan suhu menaik menjelang pileg dan pilpres, apalagi penulis awam dengan dunia perpolitikan walaupun pernah bekerja di tempat mencetak para calon pilitikus.
Namun dapat merasakan "aroma" politik praktis yang sering dimainkan oleh orang-orang di sekitarnya untuk memenuhi "nafsu" menyingkirkan orang-orang yang "dianggap" sebagai rival dan penghalang dalam mewujudkan ambisi merebut simpati sehingga namanya muncul dan berkibar di lingkungannya. Selama ini namanya tenggelam lebih karena ulahnya sendiri yang terlalu "kasar dan terbuka " dalam permainan untuk menghabisi rivalnya sesama profesi. Berbagai cara dilakukan mulai dari menyebar fitnah, memutar balikkan fakta, data dan informasi agar suaranya didengar oleh pimpinan.
Dalam diamnya ternyata selalu bergerilnya untuk terus mempengaruhi pimpinan tertinggi agar dapat menyingkirkan rivalnya, karena untuk menyamai rival jelas tidak mungkin selain kalah secara akademik, pangkat/jabatan, dan prestasi yang sudah diakui secara nasional.
Puncaknya ketika rivalnya akan mengajukan kenaikan jabatan/pangkat, semakin geram karena jika berhasil usia pensiunnya bertambah 5 (lima) tahun dari 60 tahun menjadi 65 tahun. Artinya semakin lama menunggu untuk menduduki posisi kursi sebagai penaggung jawab unit.
Jabatan yang biasa saja, tidak prestisius yang tidak menghasilkan nilai rupiah kecuali pertanggungjawaban. Selama 10 tahun dia menunggu waktu yang pas untuk menyingkirkan, mengingat posisi itu harusnya sudah didapatkannya 10 tahun yang lalu. Namun kebijakan pimpinan setempat mengambil dari luar lingkungannya, agar dapat membawa perubahan, dan ternyata benar mendapat penghargaan dari institusi sebagai unit terinovatif tahun 2009.
Tahun 2017 sang rival gagal mengurus kenaikan jabatan/pangkat, dan berita ini segera tersebar ke sesama profesi di seluruh Indonesia karena telah berani melaporkan ke Ombudsman RI, setelah sebelumnya hanya mendapat PHP dari para pejabat di berbagai isntitusi yang berwenang mengurus dan berhak mengeluarkan Surat Keputusan (SK). PHP itu awalnya memberi harapan, menyenangkan, membayangkan, dan menyejukkan.
Pokok permasalahan lapor Ombusdman karena ketidak profesionalan dan sikap "lepas tangan" bagian kepegawaian mengurus hak orang lain. Bahkan perkara ini dipingpong antar instansi (ada 5) yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan. Dari 5 itu yang mendukung dan membela hak  hanya 2, sedang 3 lainnya mengulur waktu dengan memberi PHP dan menyusun strategi. Bahkan PHP diberikan oleh seorang Menteri yang penulis mengenal dan beliau juga kenal dengan penulis.
Saat salaman acara syawalan di istitusi yang dihadiri oleh Sang Menteri, katanya masalah kenaikan jabatan/pangkat sudah diserahkan Asistennya. Saat itu seperti mendapat secerah harapan, bahwa tinggal selangkah SK Presiden untuk menduduki jabatan tertinggi di tangan. Â