Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Makan Sepiring Berdua saat Wukuf di Arafah

22 Agustus 2018   00:59 Diperbarui: 22 Agustus 2018   19:54 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melaksanakan ibadah haji selalu memberi kenangan yang berbeda bagi setiap orang, dan kesan mendalam karena terjadi peristiwa alam seperti banjir, cuaca panas, badai ataupun "human eror" seperti tragedi Mina, kelaparan, dan kejatuhan crane, kebakaran di hotel, kecopetan, dan tertipu. Walaupun di tanah suci bukan berarti tidak ada pencuri, oleh karena itu setiap jamaah haji tetap harus hati-hati dan waspada untuk menjaga barang miliknya, khususnya identitas pribadi berupa paspor, uang saku dan dokumen lainnya.

Setiap orang dalam menjalankan ibadah haji mempunyai kenangan, kesan dan cerita selama di Mekah, Medinah, Arafah, Musdalifah, dan di Mina. Tahun 1990 terjadi tragedi Mina dengan korban 1.426 jamaah, dan 631 diantaranya orang Indonesia. Jamaah berdesak-desakan ketika melewati  terowongan di dekat Mina, karena hanya satu jalur bertemulah sesama jamaah yang sudah melempar dengan yang akan melempar jumrah. 

Korban berjatuhan karena kehabisan oksigen, yang pingsan jatuh terinjak-injak tidak terhindarkan karena dorongan kuat dari belakang yang terus merangsek. Setelah tragedi itu pemerintah Arab Saudi membuat terowongan lagi sehingga ada jalur pergi dan pulang yang tepisah. Membuat terowongan berarti menembus bukit batu karena tempat melempar jumrah Aqobah, Ula, dan Wustha itu ada di balik bukit perkemahan di Mina.

Tahun 2006, para jamaah kelaparan karena ada pergantian rekanan katering baru dari Muafasah  yang sudah lama melayani para jamaah ketika di Arafah, berpindah ke katering Anna. Akibatnya terjadi keterlambatan pendistribusian jatah makan ketika sedang melaksanakan wukuf di padang Arafah. Perut yang kosong tidak makan sejak malam hari, di saat jamaah harus berdiam diri, berzikir dan mamanjatkan doa kepada Alloh SWT, adalah cobaan dan ujian tersendiri bagi setiap jamaah. Waktu itu Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, yang mendapat tugas dari Presiden untuk meninjau kondisi jamaah Indonesia yang kelaparan, diprotes oleh para jamaah dari daerah lain yang benar-benar kelaparan karena tidak membawa perbekalan sama sekali. Sebagai kompensasi setiap jamaah mendapat uang sebesar 350 real, kami mendapat berkah dari kelaparan.  

Uang kompensasi dan uang saku, tidak bisa dimanfaatkan karena tidak ada orang yang berjualan sehingga perut benar-benar keroncongan. Beruntung pembimbing haji dari BPIH Yogyakarta sejak di hotel sudah mengingatkan, walaupun di Arafah mendapat jatah makan, namun jamaah tetap harus membawa bekal makanan, minuman dan buah-buahan. Bahkan kelompok penulis ada relawan yang membawa rice cooker dan beras (waktu itu diperbolehkan masak sendiri ketika di Mekah).

Ternyata benar, saat melakukan tarwiyah di Mina tidak mendapat jatah makan, dan berlanjut sampai pelaksanaan wukuf di Arafah. "Sedia payung sebelum hujan, hendaknya berjaga-jaga sebelum datang suatu bencana atau bahaya", memang bukan sekedar peribahasa, namun sebagai peringatan agar setiap orang harus selalu siap dengan segala sesuatu dalam berbagai kondisi. Sungguh menjadi pembelajaran yang sangat baik, merasa bersyukur mendapatkan pembimbing yang begitu peduli dengan para jamaah, karena pengalamannya. Bukan semata-mata untuk mendapatkan imbalan nilai rupiah, namun rasa tanggung jawab dan amanah yang diembannya.

Saat wukuf di Arafah itu perbekalan dari Mekah semakin menipis, dan tidak mungkin memasak nasi apalagi membeli lauk pauk. Rombongan (45 orang) dan regu (12 orang) kami ada yang masih mempunyai sisa nasi dan lauk teri medan, dari tarwiyah di Mina dan Mekah. Penulis bersama dengan teman satu regu makan sepiring nasi berdua, dengan lauk teri medan, yang ketika di Mekah lauk itu selalu disingkirkan karena ada lauk yang lain. 

Sungguh nikmatnya luar biasa dan rasa syukur tiada tara, disaat perut kosong masih bisa menikmati nasi walau sepiring berdua, di bawah tenda diatas karpet, disela-sela berdoa dan berzikir, sampai menunggu malam untuk berpindah ke Musdalifah. Nikmat mana lagi yang didustakan, ketika Alloh SWT memberi nikmat, selalu merasa "kurang" dan tidak bersyukur. Sampai hari ini makan nasi sepiring berdua dengan lauk teri masih berkesan dan menjadi kenangan yang indah untuk selalu diingat.

Sebelum para jamaah berpindah ke Musdalifah mabit dan mencari kerikil untuk melempar jumrah, para jamaah mendapat hidangan snack berisi kue dan minuman dari Raja Arab, yang mendengar para tamu Alloh SWT mengalami kelaparan karena masalah katering. Bermalam di Musdalifah dengan menggelar tikar diatas tanah berpasir dengan terpaan angin malam yang kencang  sangat menusuk tulang, walau sudah memakai baju rangkap-rangkap dan mantel. 

Penulis merasa kulit muka terasa seperti tertusuk duri, persis seperti ketika muka ditempa air hujan, dan terasa kebas sebelah. Sungguh ini menjadi ujian yang berat, sampai menjelang Subuh, hanya pasrah dan tawakal. Setelah sholat Subuh berjamaah, teman yang tadi makan sepiring berdua sudah tidak kuat, di rakaat kedua jatuh lemas tidak berdaya di sebelah penulis, karena kedinginan. Setelah dicarikan minuman panas dan dihangatkan dengan api unggun dari kertas-kertas dapat pulih lagi.

Selama mabit di Mina, penulis tengah malam dibangunkan teman yang sakit di Musdalifah meminta diantar ke tenda kesehatan. Melewati para jamaah yang sedang tidur seperti ikan pindang, kaki ini harus hati-hati supaya tidak menginjak jamaah yang sedang istirahat.  Dokter memeriksa semua normal, dan tidak diberi obat tetapi buah pisang untuk dimakan. Rupanya teman penulis tersebut "kelaparan", sehingga tidak bisa tidur dan badannya lemas tidak enak. Kami kembali ke tenda dan melanjutkan istirahat, untuk menyusun kekuatan karena esok masih harus melempar jumrah selama hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijah).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun