Jangankan diperhatikan pengembangan profesinya, keberadaan profesi pustakawan tidak pernah ada dalam benak para pimpinan tertinggi yang membawahinya. Kalaupun pustakawan dapat berprestasi karena usaha yang dilakukan secara mandiri dengan kerja keras dan berjuang tanpa mengenal lelah demi mendapatkan "pengakuan" dari lingkungannya.Â
Kondisi ini dialami pada tahun 2006, walaupun membawa nama instansi, namun apresiasi dari lingkungannya nihil. Namun bukan berarti tidak ada apresiasi tidak ada prestasi dari pustakawan.Â
Buktinya tahun 2009 dapat membuktikan lagi mendapat undangan mengikuti upacara detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka untuk prestasi pustakawan di lingkungan Dirjen Dikti, Kemendiknas (waktu itu).
Bagi pustakawan momentum Kemerdekaan itu, bukan sekedar mendapat apresiasi mengikuti upacara di Istana Merdeka bagi yang berprestasi, namun dapat mengembangkan profesinya secara "merdeka" sesuai dengan kompetensi profesional dan personal.Â
Artinya kalau profesi pustakawan diakui, semestinya tidak ada pembatasan dan diskriminasi untuk naik jabatan/pangkat sampai menjadi pustakawan utama, karena secara alamiah pun dengan sendirinya dapat terhenti sebelum mencapai puncak, mengingat syarat dan ketentuan.Â
Jadi kalau di lingkungan Kemenristek dan Dikti ada Peraturan Menristek dan Dikti No. .49 Tahun 2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristek dan Dikti, secara legal formal sudah tidak memberikan kemerdekaan bagi profesi pustakawan mencapai posisi puncak (pustakawan utama).
 Kalaupun peraturan itu diganti sehingga ada posisi pustakawan utama, bagi penulis tidak ada pengaruhnya, sudah "dipaksa" pensiun karena terganjal peraturan Menristek dan  Dikti No.49 Tahun 2015. Anehnya ada pustakawan yang lolos tetap melaju ke pustakawan utama dengan mendapat Surat Keputusan Menteri Ristek dan Dikti dan Surat Keputusan Presiden.Â
Apakah ini bukan diskriminasi, kenapa untuk peraturan setingkat Menteri yang semestinya berlaku seluruh Indonesia itu berlaku untuk orang per orang/subyektif ?
Di hari kemerdekaan ini semestinya menjadi momen yang tepat untuk melakukan "instrospeksi" Kemenristek dan Dikti mendata, menelusur, jumlah pustakawan utama yang Surat Keputusannya terjadi kekeliruan (tidak sampai 15 orang).Â
Agar semuanya menjadi jelas, transparan, terbuka, sehingga para pustakawan dengan suka cita menuju ke jenjang pustakawan utama, tanpa ada dusta. Dirgahayu Indonesia !.
Yogyakarta, 17 Agustus 2018 Pukul 08.48