Berita media cetak daerah tanggal 31 Juli 2018 sungguh sangat mengusik nurani bagi yang masih diberi "rasa". Ternyata  bagi yang sudah "mati rasa", bagaikan berjalan di tengah kegelapan nabrak sana, nabrak sini. Kejujuran diabaikan untuk menggapai status mahasiswa kedokteran suatu Perguruan Tinggi Swasta. Alat teknologi yang rapi, modern dan canggih tersedia di toko untuk memuluskan rencana perjokian, dan sebagai alat komunikasi dalam memandu calon mahasiswa di ruangan tes dan joki sampai jarak 5 km.
Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di PTS tersebut sudah mempunyai alat deteksi lebih canggih plus insting (dorongan untuk secara tidak sadar bertindak yang tepat) pengawas sangat sensitif dapat membaca gerak-gerik, ekspresi mahasiswa ketika mengerjakan soal. Teknologi dipadu dengan insting ternyata membuahkan hasil yang lebih baik. Artinya alat teknologi tetap penting, namun insting manusia tidak tergantikan oleh alat secanggih apapun. Bila pengawas cuek, masa bodoh, tidak meperhatikan gestur tubuh calon mahasiswa, alat teknologi bekerja yang bekerja dengan baik, dapat meloloskan mahasiswa.Â
Diakui, kuliah di Fakultas Kedokteran sangat "prestige", hebat, dan menjadi lirikan para orang tua untuk dijadikan "calon mantu". Bangga pasti, cerdas secara akademik harus, karena tuntutan mahasiswa kedokteran itu sangat tinggi mengingat pengabdiannya berkaitan dengan "nyawa" orang.Â
Bila untuk masuk menjadi calon dokter dilakukan dengan cara instan, menghalalkan segala cara, mengabaikan integritas, budi pekerti, bagaimana nanti kalau menjadi dokter dengan sumpah jabatan yang harus mempertanggungjawabkan di dunia maupun di akherat.
Namun sayang, cara yang ditempuh untuk mendapat sebutan mahasiswa "prestige", sangat bertolak belakang dengan tugas seorang dokter yang mulia dan berhubungan dengan kesehatan raga manusia dan syarat dengan nuansa "kemanusiaan".Â
Dalam badan manusia ada segumpal daging sebagai salah satu organ tubuh disebut hati (qolbu). Menurut para alim ulama:"Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia."Â (HR. Bukhari dan Muslim).
Hati (qolbu) yang sudah tercemar oleh ambisi menjadi mahasiswa kedokteran, dengan cara apapun agar dapat lolos masuk ujian tertulis. Disisi lain iming-iming nilia rupiah (tarifnya Rp 10 juta sampai Rp 150 juta) menjadi daya tarik tersendiri bagi yang sudah berstatus mahasiswa dengan prestasi akademik bagus. Sayang, dengan mudah terperdaya untuk mendapatkan rejeki cepat tetapi tidak barokah, dan "menggadaikan" nama baik pribadi, masa depan, dan almamater.Â
Bagi mahasiswa yang ketahuan menjadi joki, almamater tidak segan-segan untuk mengeluarkan. Kasihan orang tuanya yang sudah bersusah payah untuk membiayai, mendoakan agar anaknya menjadi sarjana yang mempunyai integritas dan berkarakter.
Dalam perjokian ini minimum ada 3 (pihak) yang terlibat yaitu calon mahasiswa, orangtua mahasiswa (penyandang dana), dan si joki (biasanya sudah berstatus mahasiswa). Artinya ketiga pihak itu secara sadar dan sengaja sudah sepakat untuk melakukan "transaksi". Tindakan yang sangat beresiko selain dapat masuk ranah hukum, juga telah "menodai" dunia pendidikan, yang selayaknya sebagai orang "terdidik" memulai dengan niat luhur, dilandasi nilai kejujuran, kebenaran.Â
Lagi-lagi orang tua memberi contoh yang kurang baik untuk masa depan anaknya, setelah sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dengan meminta SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) palsu. Padahal orang tua semestinya menjadi panutan untuk anak-anaknya berlaku jujur, ksatria, berbudi pekerti.
Kalaupun sudah berhasil menjadi dokter, pastinya diragukan "jiwa pengabdian dan kemanusian" untuk menolong sesama umat, yang menjadi dasar seorang dokter. Padahal menempuh pendidikan dokter itu harus cerdas intelektual, emosional, dan spiritual secara seimbang.Â