Plastik yang telah menggantikan daun, kertas, dan kaca sebagai pembungkus kemasana makanan, minuman, ternyata membuat persoalan pelik karena terjadi "tsunami" plastik. Setelah ada acara konser, pesta rakyat, pertemuan apapun selalu meninggalkan sampah plastik yang berasal dari kemasan minuman dan makanan.Â
Dari kacamata lingkungan hidup plastik ini sangat mencemarkan kesuburan tanah karena plastik tidak dapat terurai seperti daun yang dapat menjadi kompos. Sifat plastik  tidak bisa membusuk, layu, meleleh bila dibakar sangat merusak ekosistem yang telah ada.
Persoalan plstik ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun diberbagai negara di belahan dunia manapun. Kantong plastik dan styrofoam yang menurut UN Environment paling berbahaya bagi lingkungan, pada kenyataannya masih melekat sebagai bungkus makanan yang praktis, murah, dan mudah ditemukan dibanding dengan daun.Â
Sebelum ada plastik makanan dibungkus dengan daun pisang, daun jati, dan daun lainnya yang dapat untuk membungkus makanan, asal tidak mengandung racun yang membahayakan. Dalam perkembangannya daun "tersisih" oleh plastik, selain harga daun pisang semakin mahal dan langka karena lahan untuk menanam pisang berubah menjadi perumahan.
Kondisi ini memicu pabrik plastik melakukan inovasi dan kreasinya memproduksi kantong plastik dan styrofoam untuk memenuhi keperluan selain sebagai pembungkus makanan juga untuk membawa barang belanjaan dari pasar moderen dan pasar tradisional.Â
Zaman generasi "old" orang pergi ke pasar tradisional membawa "tenggok" (Jawa) semacam bakul yang agak besar yang diikatkan dengan selendang dan ditaruh di punggung dengan digendong untuk membawa barang belanjaan. "Tenggok" dan selendang ini juga digunakan untuk mengangkut pagi yang dipetik dari sawah dengan alat "ani-ani" (alat yang ada pisau kecil untuk memutus tangkai padi).
Zaman pun berubah, semua serba praktis, murah, cepat, instan sehingga plastik menjadi pilihan untuk menggantikan "tenggok" ketika belanja di pasar tradisional dan modern. Walaupun saat ini ada pasar modern yang tidak memberi "bonus" plastik untuk membawa barang belanjaan.Â
Artinya kalau belanja di swalayan tersebut ada pilihan membeli kantong plastik seharga Rp 200,- per kantong, membeli tas belanja yang sudah disediakan di swalayan seharga Rp 15.000,-, atau dibawa dengan kardus yang gratis.Â
Jadi ada pilihan, dan keputusan ditangan pembeli yang biasa memilih kardus, selain gratis dapat dimanfaatkan lagi. Masalahnya kalau belanja dengan sepeda/motor susah untuk membawanya, apalagi kalau barangnya berdus-dus.
 Di swalayan itu baru kampanye untuk mengurangi pemakaian plastik, bukan meniadakan pemanfaatan kantong plastik. Padahal menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Gerakan Indonesia Dies Kantong Plastik (GIDKP), konsumsi kantong plastik mencapai 2.400 ton per tahun.Â
Kondisi ini tentu belum ditambah dengan botol plastik, sebagai kemasan minuman yang dipakai oleh berbagai produk minuman. Artinya hidup ini sudah dikelilingi dengan sampah plastik yang berserakan di berbagai tempat, mengingat "budaya bersih", dan "budaya membuang sampah di tempatnya", belum menjadi kebiasaan bangsa kita.Â
Orang dengan entengnya membuang sampah plastik, bahkan di bandara internasional pun yang sudah kelihatan bersih, dan disediakan tempat sampah calon penumpang "tanpa merasa bersalah" meninggalkan bekas kemasan minuman di dekat tempat duduknya.Â
Sungguh mengelus dada melihat sikap orang yang seenaknya, artinya ada yang salah dengan pengenalan masalah kebersihan dari keluarganya sejak kecil.
Sudah lama digalakkan pemilahan sampah organik dan an organik, yang dimulai dari keluarga juga dan harus melibatkan kesadaran seluruh anggota keluarga untuk berpartisipasi, bahkan dalam kompleks perumahan sudah digerakkan adanya "bank sampah".Â
Hal ini sangat bagus bank sampah dari rumah-rumah warga yang sudah dipilah-pilah setelah dikumpulkan dapat menjadi nilai rupiah, sebagai tabungan RT, atau warga. Setelah itu sampah plastik bisa didaur ulang untuk dicetak menjadi peralatan rumah tangga, pot bunga, keranjang sampah, bak mandi, hiasan rumah yang mempunyai nilai seni, dan bisa menghasilkan nilai rupiah. Kondisi ini sebagai pemberdayaan masyarakat yang melibatkan semua orang mulai dari dalam keluarga dan menanamkan hidup bersih sejak dini. Â Â
Selain itu yang perlu diperhatikan adalah, mungkinkah pabrik plastik itu mengurangi produksinya? Walau ini sebagai tindakan yang harus mengorbankan banyak pihak (pengusaha, tenaga kerja, pemerintah) yang kehilangan mata pencaharian, dan pendapatan daerah karena sumber pajak berkurang. Inilah pilhan yang harus diambil lingkungan sehat, bersih, bebas sampah plastik, atau kehilangan sumber penghasilan dan sumber pajak? Suatu pilihan seperti makan buah "simalakama", pilihan yang sangat sulit, namun harus tetap dipilih.
 Yogyakarta, 18 Juli 2018 Pukul 08.43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H