Orang dengan entengnya membuang sampah plastik, bahkan di bandara internasional pun yang sudah kelihatan bersih, dan disediakan tempat sampah calon penumpang "tanpa merasa bersalah" meninggalkan bekas kemasan minuman di dekat tempat duduknya.Â
Sungguh mengelus dada melihat sikap orang yang seenaknya, artinya ada yang salah dengan pengenalan masalah kebersihan dari keluarganya sejak kecil.
Sudah lama digalakkan pemilahan sampah organik dan an organik, yang dimulai dari keluarga juga dan harus melibatkan kesadaran seluruh anggota keluarga untuk berpartisipasi, bahkan dalam kompleks perumahan sudah digerakkan adanya "bank sampah".Â
Hal ini sangat bagus bank sampah dari rumah-rumah warga yang sudah dipilah-pilah setelah dikumpulkan dapat menjadi nilai rupiah, sebagai tabungan RT, atau warga. Setelah itu sampah plastik bisa didaur ulang untuk dicetak menjadi peralatan rumah tangga, pot bunga, keranjang sampah, bak mandi, hiasan rumah yang mempunyai nilai seni, dan bisa menghasilkan nilai rupiah. Kondisi ini sebagai pemberdayaan masyarakat yang melibatkan semua orang mulai dari dalam keluarga dan menanamkan hidup bersih sejak dini. Â Â
Selain itu yang perlu diperhatikan adalah, mungkinkah pabrik plastik itu mengurangi produksinya? Walau ini sebagai tindakan yang harus mengorbankan banyak pihak (pengusaha, tenaga kerja, pemerintah) yang kehilangan mata pencaharian, dan pendapatan daerah karena sumber pajak berkurang. Inilah pilhan yang harus diambil lingkungan sehat, bersih, bebas sampah plastik, atau kehilangan sumber penghasilan dan sumber pajak? Suatu pilihan seperti makan buah "simalakama", pilihan yang sangat sulit, namun harus tetap dipilih.
 Yogyakarta, 18 Juli 2018 Pukul 08.43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H