Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Mengaku" Miskin untuk Sekolah Anak

10 Juli 2018   14:50 Diperbarui: 10 Juli 2018   18:20 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sungguh aneh ketika orang berlomba-lomba untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar mempunyai harta benda yang kasat mata demi mendapatkan sebutan "orang kaya", disatu sisi orang beramai-ramai antri demi mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Semua itu dilakukan dengan penuh kesadaran, disengaja karena ada "peluang" 20 persen sekolah negeri wajib menerima siswa miskin dengan menunjukkan SKTM. Sistem zonasi menurut Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB pada kenyataannya menimbulkan kontrovensi.

Pasal 16 Permendikbud mewajibkan 90 persen seleksi berdasarka zonasi, tanpa memandang prestasi, kaya miskin semua dapat diterima asal, domisili berdasarkan Kartu Keluarga (KK) memenuhi syarat zonasi.

Pemda dan Kepala Sekolah mempunyai kewenangan menentukan radius berapa meter/kilometer yang mendapat prioritas  bagi lulusan SD dan SMP untuk masuk SMA Negeri. Tidak melihat prestasi akademik maupun non akademik, siapa pun dapat diterima. Radius zona berdasarkan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut dan jumlah ketersediaan daya tampung rombongan belajar (rombel) masing-masing sekolah.

Masalah muncul karena sekolah yang sudah "terlanjur" mendapat sebutan favorit oleh masyarakat harus menerima input peserta didik dengan nilai standar, bahkan bisa nilainya pas-pasan. Disinilah Guru, Kepala Sekolah, Tendik, Komite Sekolah mendapat tantangan lebih besar untuk menghasilkan "output" lulusan sebagai sekolah favorit. Sebaliknya sekolah biasa mendapat input peserta didik dengan nilai bagus-bagus juga mendapat tantangan tidak kalah beratnya untuk menghasilkan output lulusan yang berkualitas.

Dalam Permendikbud No.14 Tahun 2018 memberi kesempatan 5 persen untuk lulusan berprestasi dan 5 persen karena alasan khusus di luar zona yang ditentukan. Selain itu pasal 19 memberi peluang sebesar 20 persen bagi orang miskin dengan menunjukkan SKTM, karena peserta didik akan digratiskan dari biaya pendidikan. Artinya bila SMA Negeri mempunyai daya tampung 400 siswa, ada 100 siswa tidak mampu secara ekonomi. Kondisi ini memicu orang berbuat tidak jujur dengan dirinya sendiri, yang rela disebut "miskin/tidak mampu" agar anaknya dapat masuk di sekolah yang diidamkan.

"Pendaftaran Siswa baru Sarat Manipulasi: Kuota siswa miskin dimananfaatkan oleh yang sebenarnya tidak miskin. Modusnya mereka mengurus SKTM di kantor kelurahan desa" (Kompas, 10/07/2018 halaman 9). Artinya yang selama ini sudah disinyalir ternyata terbukti, ada manipulasi data tentang identitas orang yang mampu menjadi dimiskinkan. Orang tua murid yang melakukan ini apapun alasannya telah memberi contoh yang tidak baik untuk anak-anaknya, menghalalkan segala cara demi "ambisi" orang tua agar anaknya masuk di sekolah negeri dan gratis. Sungguh sangat memprihatinkan, di Jawa Tengah manipulasi data ditemukan ada 500 siswa, namun pihak Sekolah bersikap tegas dengan mendiskualifikasi karena menyalahgunakan SKTM.

Di Propinsi DIY disinyalir juga ada penyalahgunaan SKTM, namun pihak Forum Bersama Pos Pengaduan PPDB yang merupakan gabungan dari Ombudsman RI perwakilan DIY, Lembaga Ombudsman DIY, Forum Independen, ada 3 (tiga) laporan dugaan manipulasi data. 

Upaya Forum Bersama Pos Pengaduan PPDB ini patut mendapat acungan jempol, sehingga dapat diminimalisir manipulasi data. Juga upaya pihak Sekolah di SMA Negeri 5 Semarang telah membentuk tim khusus untuk mengecek langsung kondisi rumah dan orang tua siswa satu persatu sehingga memperoleh data akurat. Hasilnya ditemukan 90 siswa membawa SKTM, ada 40 siswa (44,44 persen) terpaksa ditolak karena tergolong keluarga mampu. Memang tugas ini sangat berat, tetapi demi mendapatkan data sebenarnya dan menerapkan "kejujuran" dalam proses PPDB, supaya SKTM tidak salah sasaran.

Sungguh aneh dalam pribadi orang kadang ingin dipuji karena mempunyai kekayaan dan untuk mendapatkan "WAH" oleh lingkungannya, walaupun dengan cara kredit ini kredit itu, gali lubang ini tutup lubang yang lain. Namun ketika harus mengeluarkan biaya pendidikan yang secara kasat mata mampu secara finasial, dengan sepenuh tenaga, daya, upaya beramai-ramai berdesakan dengan orang yang miskin beneran untuk mendapatkan SKTM. Artinya orang yang "kepengin" disebut kaya itu sebenar-benar orang yang "miskin hati", karena dengan sadar, sengaja "merampas" hak orang lain yang lebih membutuhkan.

Ketentuan 20 persen hanya diperuntukan untuk orang miskin, dimaknai orang tua siswa, anaknya dapat masuk sekolah negeri favorit gratis asal membawa SKTM, dengan memanipulasi data. Kalau sudah begini siapa yang patut dijadikan "kambing hitam", peraturan, pak Lurah, siswa atau orang tua siswa. Orang tua siswa menjadi penentu keputusan untuk meminta SKTM, anak tinggal mengikuti orang tua karena walau tahu itu perbuatan tidak jujur tidak kuasa untuk menolaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun