Hari Minggu tanggal 8 Juli 2018 menghadiri undangan "walimatus safar", untuk pamitan haji yang diselenggarakan calon haji dan sudah pergi umroh dua kali beserta keluarganya. Bagi orang lain menghadiri undangan pamitan haji adalah hal yang biasa, demikian juga bagi penulis ketika menghadiri acara yang sama untuk adik ipar dan keluarga.Â
Namun sangat berbeda ketika penulis datang untuk acara pamit haji kali ini. Betapa tidak, antara percaya dan tidak percaya dan harus percaya ketika yang pamit haji ini dulu pernah menjadi bagian dari keluarga penulis selama 6 (enam) tahun lebih sebagai asisten rumah tangga (ART).
Dia seorang lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah karena kondisi orang tuanya yang sudah janda dengan 5 (lima) orang anak. Tinggal di daerah ujung barat Yogyakarta. Penulis sangat kenal betul kondisi keluarganya karena sering berkunjung ke rumahnya untuk sekedar silaturahmi bersama suami dan anak-anak.Â
Hubungan kami sudah seperti keluarga dan dekat dengan anak-anak karena yang mengurusi keperluannya, termasuk antar jemput sekolah. Walaupun statusnya sebagai ART, kami memperlakukan sebagai anggota keluarga, karena jujur, pandai, disiplin, komitmen, berdedikasi, cekatan, amanah, dan tampang tidak kalah dengan orang kota. Setiap ART penulis ajak menjemput anak di SD ada guru yang bertanya"ini putri ibu yang nomor satu ?" Saya jawab "ya" bu guru. Ternyata yang menjadi pembimbing haji saat ini juga dari guru SD tersebut. Â Â
Pikiran menjadi tenang meninggalkan anak-anak di rumah, ketika harus bekarier. Berhubung ART Â mempunyai potensi intelektual, penulis sekolahkan SMP dan lanjut SMA, dan tidak selesai karena kelas XI mulai "terganggu" dengan lawan jenisnya, sehingga menikah.Â
Sayang sekali, namun apa boleh buat penulis sudah berusaha memberikan yang terbaik, walau untuk tindakan baik ini pun ada orang-orang yang suka "bawel", karena memperlakukan ART seperti keluarga. Memang ada yang salah ketika ART diperlakukan sebagai anggota keluarga, untuk memanusiakan manusia, karena penulis pikir ART juga manusia biasa seperti kita, cuma nasibnya saja yang belum beruntung. Â Â
Setelah menikah jarang ketemu dan berkomunikasi, walau masih komunikasi dengan keluarga lainnya. Kakaknya dulu juga menjadi ART, bahkan sempat diajak ke Depok Jabar, ketika penulis tugas belajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan FIB UI, karena penulis membawa bayi usia 8 (delapan) bulan. Jadi dia menggantikan posisi kakaknya yang keluar karena pindah kerja sebagai ART di tempat salah satu "konglomerat" di Indonesia dan saudara penguasa waktu itu.Â
Tetapi di tempat baru dengan gaji lebih besar, ternyata tidak menjamin kerja lebih enak dan kerasan. Di tempat baru prinsipnya digaji untuk bekerja, bukan untuk menerima telepon. Jadi sekedar menerima telepon pun tidak boleh, posisinya sebagai asisten ART yang lebih senior, apapun harus nurut dan patuh dengan perintahnya, bukan langsung perintah "bos besar".
Sementara adiknya yang menjadi ART di keluarga sederhana justru diperlakukan secara manusiawi, diberi kesempatan belajar  motor, dicarikan SIM C, disekolahkan, dikursuskan menjahit, diajari masak, beberes rumah, merawat bayi, bahkan rencana dibiayai kuliah dan bertahan sampai lebih 6 tahun.Â
Ketika memutuskan menikah dengan lelaki yang lebih tua, berstatus masih punya istri yang sedang proses perceraian, kerja tidak jelas, dia (ART) sendiri masih sekolah, keluarganya dan penulis pun menyayangkan. Namun tetap "nekad" untuk menikah tahun 1997, dengan orang tersebut yang berasal dari daerah yang dikenal pemberani dan temperamental.Â
Dalam kurun waktu 21 tahun, jarang sekali ketemu, berkomunikasi, walau domisilinya hanya berbatasan dengan ring road. Namun tanpa diduga, tiba-tiba datang ke rumah  pada hari Sabtu tanggal 30 Juni 2018, untuk menyambung silaturahmi, meminta maaf, mohon doa restu dan memberi undangan untuk acara pamit haji.