Hari ini tanggal 29 Juni diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas), yang sudah berlangsung sejak era Suharto, pada tahun 1993. Keluarga menurut BKKBN mempunyai 8 (delapan) fungsi yaitu agama, sosial budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Ke 8 fungsi keluarga ini kalau diterapkan dengan baik dan benar akan mewujudkan generasi emas yang berkualitas dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan spriritual secara seimbang.
Membina keluarga kekal (tidak mudah cerai karena urusan sepele), sehat, sejahtera, bahagia lahir batin, perlu kematangan dalam berpikir dan bertindak. Oleh karena itulah BKKN memberi batasan usia pernikahan yang ideal 20 tahun bagi wanita, dan 25 tahun bagi pria. Patokan usia ini sudah melebihi dari yang ditetapkan oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu 16 tahun untuk wanita, dan 19 tahun untuk pria.
 Oleh karena itu pernikahan dini yang masih marak di daerah harus mendapat dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain, yang diajukan oleh orang tua pihak wanita atau pria. Hal ini sebagai upaya preventif bagi anak-anak yang belum cukup umur bila membina keluarga sangat rentan dengan perceraian, mengingat secara fisik, psikis, biologis, dan ekonomis belum siap. Untuk dipahami modal pernikahan bukan sekedar "cinta", yang kadang "membutakan" dan "memabukkan", seakan dunia menjadi milik berdua.
Ketahanan keluarga sejahtera sebagai ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang sah secara agama dan hukum negara, hanya dapat terwujud masing-masing pihak melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai suami istri (pasal 30 -- 34 UU No.1 Tahun 1974). Dimana suami sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah yang halal, tojib, dan barokah, bukan nafkah yang haram, dari sumber yang tidak jelas. Sedang istri menjadi ibu rumah tangga, yang wajib mengatur urusan rumah tangga, yang mempunyai hak dan kedudukan seimbang dengan hak dan kekududukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
 Tahun 2018 ini menurut Kepala BKKBN, ada 4 (empat) konsep besar dalam Hari Keluarga Nasional (Harganas):
- Keluarga Berkumpul (meluangkan waktu tanpa disibukkan dengan gadget, TV, dan elektronik lainnya.
- Keluarga Berinteraksi, dengan meluangkan waktu berkumpul dan saling bercengkerama, serta saling tukar pengalaman dengan komunikasi yang lebih berkualitas.
- Keluarga Berdaya, dimana keluarga mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk membuat diri dan keluarganya tidak bergantung pada pihak lain.
- Keluarga Peduli dan Berbagi, dimana keluarga yang mampu dan lebih beruntung mempunyai kepedulian dan keinginan untuk berbagi dan menolong orang lain (https://nasional.tempo.co).
Mestinya Harganas ini menjadi mementum yang sangat tepat untuk mewujudkan dan mengaplikasikan keempat konsep besar tersebut, mengingat fungsi keluarga sudah kehilangan maknanya. Munculnya generasi milenial yang "bermasalah", yang kadang meresahkan lingkungan kalau ditelusur dari "keluarga bermasalah", baik karena "broken home" sungguhan (karena perceraian, meninggal dunia) Â maupun "broken home" semu (keluarga masih utuh bapak, ibu, anak), tetapi sudah jarang berkumpul, berintekasi, peduli dan berbagi.
Keluarga yang menjadi pilar utama dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dengan adanya gadget yang semestinya untuk mendekatkan yang jauh, sekaligus dapat menjauhkan yang dekat. Bukan berarti "alergi" dengan gadget karena semua generasi sudah "kecanduan" dengan kotak ajaib ini, mengingat semua data, informasi, ada didalamnya yang bisa digenggam kemanapun pergi. Ketinggalan di rumah, ditanggung bakal diambil lagi walau resikonya jadi terlambat masuk kerja, Â kuliah, menghadiri pertemuan.
Penulis pasti menghindar, menunda bicara, atau segera mengakhiri obrolan ketika lawan bicara sudah tidak menatap mata, beradu pandang karena konsentrasi untuk menatap gadget. Kondisi ini jamak terjadi di lingkungan kerja, pertemuan, rapat, berkendara, di lampu merah dan di dalam keluarga. Masing-masing anggota keluarga duduk dalam satu meja, namun anehnya "senyap", karena lebih fokus dengan gadgetnya, bahkan lebih dari satu.Â
Orang menyebutnya dengan istilah "phubbing", yaitu tindakan acuh tak acuh seseorang di dalam sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gadget daripada membangun sebuah percakapan. Istilah ini mulai dikenal bersamaan dengan peredaran smartphone yang semakin tidak terkendali. Â
Menurut data dari stopphubbing.com, 87% remaja lebih memilih berinteraksi lewat HP dibanding tatap muka langsung. Kebanyakan phubbers, orang-orang yang asik sama HP-nya melakukan lima hal yaitu update status di medsos, chatiing sama orang lain, googling, main games, ketawa sendiri dengan Hpnya (https://www.feedme.id).
Pengaruh gadget sudah merubah sikap dan perilaku setiap orang temasuk anggota keluarga intu yaitu bapak, ibu dan anak. Benarkah gadget itu mempersatukan atau justru memisahkan keluarga ?. Semestinya keluarga menjadi dipersatukan karena gadget dapat lebih mendekatkan yang jauh, tanpa harus menjauhkan yang dekat, asal masing-masing mempunyai "tingkat kepedulian" dan "kesadaran" yang tinggi.Â