Berbicara tentang Perpustakaan Nasional tidak bisa dilepaskan dari sosok wanita yang mempunyai dedikasi tinggi untuk mengembangkan Perpustakaan Nasional. Beliau adalah Ibu Mastini Hardjoprakoso (almh) sebagai pejuang sejati, tokoh pustakawan dan literasi Indonesia yang wafat pada tanggal 3 April 2017.Â
Jasa-jasanya untuk memajukan perpustakaan dan profesi pustakawan di Indonesia patut mendapat acungan jempol. Beliau menjadi "trademark" nya Perpustakaan Nasional mulai  merintis, membentuk, membenahi, dan mengembangkannya.
Dedikasinya yang luar biasa di bidang kepustakawanan diawali dari mengajar di Taman Putro Surakarta tahun 1945 -- 1950. Kariernya terus meningkat, sebagai asisten perpustakaan Lembaga Kebudayaan (Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen), kepala bagian di perpustakaan LKI, kepala perpustakaan museum pusat, kepala perpustakaan Departemen P dan K, staf ahli Menteri P dan K serta pimpinan Perpustakaan Nasional Departemen P dan K. Terakhir Kepala Perpustakaan Nasional RI mulai tahun 1990 -- 2001.
Selain itu masih ada dua (2) sosok wanita yang menjadi ikon di Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahua Indonesia (PDII-LIPI) ibu Luwarsih Pringgoadisurjo. Beliau betul-betul merasakan pekerjaan di perpustakaan itu mempunyai tantangan yang banyak, mulai dari ruangan yang sempit dengan tenaga terbatas, sampai dana dan minimnya perhatian pimpinan. Di tangan ibu Luwarsih Pringgoadisurjo PDII-LIPI menjadi perpustakaan ilmiah terbesar di Indonesia, yang dapat memberi pelayanan informasi bagi masyarakat ilmiah, instansi, dan perguruan tinggi.
Sosok srikandi yang lain adalah Ibu Lily Koeshartini Somadikarta, sebagai "guru" pustakawan di seluruh Indonesia yang sangat disegani karena kepiawiannya membimbing murid-muridnya menjadi pustakawan sejati. Beliau sangat disiplin, tegas, keras tetapi baik hati, penulis sebagai muridnya sangat merasakan kebaikan itu, sehingga hubungan bukan lagi guru - murid, namun seperti ibu - anak. Ibu Somadikarta setelah mendapat beasiswa dari Belanda, awalnya bekerja sebagai pustakawan dan mengajar di Kursus Pendidikan Ahli Perpustakaan, sebagai cikal bakal Jurusan Ilmu Perpustakaan (JIP) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Ketika menjadi dosen tetap di JIP UI, dalam setiap kesempatan kuliah, beliau tidak bosan-bosan melontarkan nasehat kepada para yuniornya:"seorang pustakawan dituntut belajar serius dan berbedikasi tinggi". Duka menjadi pustakawan menurut ibu L.K. Somadikarta masih banyak orang Indonesia yang mengganggap "remeh" pegawai perpustakaan (baca pustakawan), sehingga mereka (baca pemustaka/pengguna perpustakaan) enggan bertanya, meskipun mereka sedang dalam kesulitan mencari buku.
Kembali ke pokok tulisan, Perpustakaan Nasional RI secara historis berdiri pada tanggal 17 Â Mei 1980, merupakan integrasi dari 4 (empat) lembaga yaitu Perpustakaan Museum Nasional (1778), Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial (1920), Kantor Bibliografi Nasional (1953), dan Perpustakaan Negara Jakarta (1950).
Awalnya masuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, setingkat eselon II dibawah Dirjen Kebudayaan. Sejak dicanangkan oleh Menteri P dan K, Dr. Daoed Joesoef, status Perpustakaan Nasional RI menjadi Lembaga Pemerintah non Departemen (LPND), setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Lokasi Perpustakaan Nasional RI dekat dengan pusat pemerintahan Indonesia di Salemba Raya No.18A dan di jalan Medan Merdeka Selatan No.11 Jakarta Pusat. Gedung megah di dua lokasi ini sebagai bukti kepiawian ibu Mastini untuk meloby dan berdiplomasi dengan Presiden Suharto dan ibu negara Tien Suharto tentang pentingnya Perpustakaan Nasional RI.
Perpustakaan Nasional RI sebagai ikon peradaban dan budaya bangsa. Menurut penjelasan UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dikatakan:"Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki". Perpustakaan Nasional mempunyai peran strategis dan relevan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai ikon, indentitas, brand negara Indonesia.
Peradaban dan tingkat intelektualitas suatu bangsa, dapat dilihat dari perhatian pemerintah dan pengelolaan perpustakaan nasionalnya. Perpustakaan Nasional RI sebagai pusat deposit karya intelektual anak bangsa, penelitian, informasi, pendidikan  dan rekreasi kultural. Suasana  demokratis, dapat menumbuhkan toleransi, nasionalisme, dan merajut kebhinekaan tunggal ika, dengan memberi pelayanan yang sama tanpa membedakan suku, ras, warna kulit, agama, bahasa, dan pandangan politik.
Bangsa Indonesia boleh bangga telah memiliki Perpustakaan Nasional yang diresmikan Presiden Jokowi bersamaan dengan hari kunjung perpustakaan tanggal 14 September 2017. Perpustakaan dengan 27 lantai diklaim tertinggi di dunia, menempati luas lahan 11.974 meter persegi dan luas banguan  50.917 meter persegi, dengan dana sebesar Rp 465.207.300.000,-. Lokasi strategis di ring satu dari pusat pemerintahan di jalan Medan Merdeka Selatan 11 Jakarta Pusat, sebagai representasi bangsa Indonesia. Pesan Presiden Jokowi, untuk tidak cepat puas dengan gedung yang representatif, fasilitas modern, nyaman, layanan prima berbasis teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat, Perpustakaan Nasional kalau tidak melakukan revolusi untuk melayani tuntutan generasi Y, Z, dan alpha, pasti akan ditinggal oleh pemustakanya.Â