Hari Raya Idul Fitri biasa menjadi momentum yang ideal untuk mempertemukan ikatan keluarga sedarah baik secara vertikal (kakek-nenek, orang tua, anak, cucu, cicit) dan horisontal (menyamping), terdiri pakde/bude, om/tante, saudara sepupu, saudara misan. Hubungan kekeluargaan yang sedarah, sesusuan (karena saat ini ada donor ASI).
Maka menjadi saudara. Hubunga saudara juga dapat terjadi karena perkawinan, sehingga ada adik ipar, kakak ipar.
Di era milenial ini telah mengalami pergeseran pola komunikasi dan pola relasi, karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat.
Pola komunikasi saat ini dilakukan melalui gadget (SMS, Whatsapp, telepon,line) dan media sosial (facebook, twitter). Kirim surat, kartu lebaran mulai ditinggalkan walau masih ada yang memanfaatkannya.
Sedang pola relasi hubungan saudara karena perkawinan bukan lagi dari keluarga dekat, tetapi dengan orang lain yang melintas daerah, pulau, lintas suku, budaya, bahasa, adat istiadat.
Saat hari Raya Idul Fitri, dulu kebiasaan generasi “old” selalu berkunjung dari rumah ke murah untuk menghaturkan “sungkem” (sebagai perwujudakn rasa hormat dengan orang tua/yang dituakan dengan berjabat tangan, mencium lutut sembari mohon maaf dan mohon doa restu, dengan bahasa “kromo madya”.
Kemudian orang tua membalas dengan memberi maaf dan doa restu yang kadang kata-katanya bikin “baper”, sungguh sangat mengesankan. Ini dilakukan secara bergantian berdasarkan urutan dari saudara tertua.
Selain sungkem dengan orang tua dan mertua, juga kepada pakde, bude, pak lik, bu lik dengan membawa anak-anak yang masih kecil, secara berombongan 3 – 4 keluarga. Bisa dibayangkan berapa kursi yang dijajar di ruang tamu, lengkap dengan makanan kecil dan gelas tanggung berisi teh atau sirup.
Namun saat ini semua itu sebagai kenangan indah yang tidak akan terulang lagi, karena sudah diganti dengan pertemuan trah, yang intinya juga silaturahmi dan mohon maaf. Pertemuan trah disisi dengan bacaan kalam Illahi, tahlil untuk mendoakan para pendahulu yang sudah di alam akerat.
Selain itu juga diisi tauziah, berbagi informasi baru dan ramah tamah. Berhunung jarang ketemu, posisi dudukpn cenderung bergerombol dengan saudara yang paling dekat, dan sudah dikenal.
Jadi pola silaturahmi dengan sungkem dan mohon doa restu itu telah mengalami pergeseran seiring “surutnya”/meninggalnya kedua orang tua dan kedua mertua.