Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wisata Sejarah Kotagede Yogyakarta

12 Mei 2018   09:37 Diperbarui: 14 Mei 2018   15:26 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkunjung ke Yogyakarta selain Malioboro yang menjadi ikon bagi kota wisata ini, belum lengkap rasanya bila tidak menyempatkan ke Kotagede sebagai wisata sejarah dengan bangunan, dan gang-gang jalan yang eksotis. Kotagede sebagai salah satu wilayah Kecamatan di Kota Yogyakarta, memiliki destinasi wisata sejarah yang perlu diketahui oleh generasi milenial. Pada tahun 1575 telah berdiri Kerajaan Mataran Islam, yang sebelumnya sebagai kerajaan Mataram Hindu, sehingga masih pintu  gerbang masuk bangunannya beraksitektur khas Hindu seperti bangunan di P. Bali.

Pada abad ke-6 pulau Jawa dibawah kekuasaan Kasultanan Pajang dipimpin Sultan Hadiwijaya, yang mengalami masa kejayaan  dan peradaban tinggi berupa Candi Borobudur, sangat  mengagumkan dan  menjadi salah satu keajaiban dunia. Kerajaannya dikenal dengan Mataram Hindu, yang semula berupa alas Mentaok. Abad ke-10 Kerajaan Mataram Hindu dipindahkan ke Jawa Timur, sehingga kembali menjadi hutan. Oleh Sultan Hadiwijaya hutan Mentaok ini dihadiahkan kepada Ki Gede Pemanahan yang telah berjasa mengalahkan musuh-musuh kerajaan Mataram Hindu.

Pada tahun 1575 Ki Gede Pemanahan mendirikan Kerajaan Mataram Islam di bekas hutan Mentaok dan bekas Kerajaan Mataram Hindu. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, diteruskan oleh puteranya bernama Senopati Ing Alaga, yang dapat tumbuh pesat, makmur, dan ramai, sehingga yang awalnya desa sepi berupa hutan Mentaok berubah menjadi Kotagede (Kota Besar). Kemudian Senopati Ing Alaga menjadi raja pertama Mataram Islam yang bergelar Panembahan Senopati dengan pusat pemerintahan di Kotagede, yang wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa, kecuali Batavia dan Banten.

Pada tahun 1613 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (cucu Panembahan Senopati) kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede, dipindahkan di daerah Kerto Pleret Banguntapan Bantul. Masa pemerintahan Sultan Agung tahun 1613 - 1645, dengan gigih melawan pemerintahan VOC ke Batavia. Sultan Agung inilah yang membangun makam untuk raja-raja di daerah perbukitan Imogiri Bantul, yang menjadi destinasi wisata dengan pemandangan alam yang mengagumkan, setelah menaiki tangga yang konon tidak sama jumlahnya bila dilakukan oleh setiap pengunjung. Penulis sendiri pernah mencoba menghitung ketika olah raga pagi hari Minggu berjumlah 345 anak tangga, padahal yang benar 409, perlu konsentrasi untuk menghitungnya.

kecamatanimogiri-com-5af94749f13344719544b323.jpg
kecamatanimogiri-com-5af94749f13344719544b323.jpg
Berkunjung ke Kotagede, ada obyek yang bisa dinikmati area bekas kerajaan Mataran Islam dengan pintu gerbang bernuansa Hindu seperti di P.Bali, ada "abdi dalem" pegawai keraton dengan pakaian tradisional dan bangunan di sisi kiri dan kanan. Masuk gerbang/gapura lansung ada Masjid Besar Mataram dengan suasana hening pepohonan rimbu. Disisi selatan ada komplek pemakaman yang utama adalah  makam Panembahan Senopati. Ada makam yang bagian nisan separoh di dalam "cungkup" (rumah nisan), separoh di luar. Ini adalah nisan dari dari makam  menantu Panembahan Senopati yang dianggap keluarga sekaligus musuh Mataram, yaitu Ki Ageng Mangir.

 Untuk masuk ke area makam harus menyewa  baju surjan, kain jarit (untuk laki-laki), dan kemben, kain jarit (untuk perempuan). Kain, surjan dan kemben dapa disewa di luar sebelum masuk pintu gerbang komplek masjid dan makam. Ada peraturan yang harus ditaati oleh pengunjung makam, tidak boleh memotret, lepas sepatu sandal, bicara sopan, dan tenang. Selain itu di selatan makam ada sendang "Selirang" sebagai bangunan cagar budaya peninggalan Panembahan Senopati. Ada sendang "kakung"/laki-laki dengan mata air bersumber tepat di bawah makam dan masuk melalui lubang saluran di bawah sendang sebelah utara. Sedang sendang putri air bersumber dari bawah pohon beringin.

Usai dari mengunjungi komplek makam Panembahan Senopati dapat menikmati makanan khas Kotagede di kios selatan pasar yang menjual "yangko", makanan dari tepung ketan dibentuk kotak persegi ukuran 3 x 3 cm dibungkus kertas tipis. Harga satu (1) kerdus isi 20 bungkus Rp 17.500,- dan yang rasa kacang Rp 19.000,-. Selain itu ada makanan khas namanya "kipo" bahan tepung ketan dibuat kecil-kecil dengan warna alami hijau isinya enten-enten, dibakar. Satu bungkus isi  5 harganya Rp 2.500,- rasanya manis gurih. Ada lagi kue "kembangwaru", seperti bunga waru warna kecoklatan, harganya satu platisk isi 5 buah Rp 10.000,-, cukup murah bukan ?.

navigasi-budaya-jogjaprov-go-id-5af9476dcaf7db6ca632b6f2.jpg
navigasi-budaya-jogjaprov-go-id-5af9476dcaf7db6ca632b6f2.jpg
Ada pasar tradisional Kotagede lebih sering disebut "Pasar Legi", sangat ramai ketika hari pasaran Legi, (nama hari pasaran Jawa Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing), karena ada penjualan unggas, bibit tanaman, alat pertanian, sehingga pasar "tumpah", memenuhi jalan yang dijamin macet total. Selain itu ada sovenir perak yang terkenal seantero dunia. Berbagai macam bentuk sovenir dari bahan perak asli yang dibuat oleh para perajin di daerah Kotagede dan sekitarnya.

Masih ada lagi rumah-rumah joglo asli yang menjadi "heritage" diantara gang-gang sempit yang ada di sekitar Kotagede. Jadi menunggu apalagi untuk berkunjung ke Kotagede, yang bisa ditempuh dengan menyewa motor atau sepeda, bila bis pariwisata yang dapat parkir di kantong parkir, untuk menuju ke lokasi dapat naik andong atau becak.

 Yogyakarta, 12 Mei 2018 pukul 09.38

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun