Rejeki yang digunakan untuk jalan kebenaran, akan membuahkan kebaikan dan kebajikan. Pantangan membelanjakan rejeki dengan sistem “besar pasak dari pada tiang”, sebab nanti bisa “ambruk” (bahasa Jawa)/runtuh.
Membuat perencanaan penggunaan gaji dan/atau penghasilan sesuai yang dibutuhkan pada bulan itu, yang disebut Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Keluarga (RAPBK). Tugas seorang ibu untuk menjadi “menteri keuangan” yang mengatur gaji/penghasilan suami.
Kebutuhan primer (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) harus didahulukan daripada kebutuhan sekunder, apalagi tersier. Kekacauan keuangan dalam keluarga berawal dari tidak bisa menahan “hawa nafsu” untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan tersier, sementara kebutuhan primer diabaikan. Lebih mementingkan “keinginan” yang sebenarnya masih bisa ditunda, dari pada kebutuhan yang harus disediakan saat itu karena tidak bisa ditunda lagi.
Awal petaka “salah urus” rejeki, karena dominasi keinginan lebih kuat daripada kebutuhan. Akibatnya pinjam, kredit, dengan agunan ataupun tanpa agunan, bahkan semakin “serakah” ketika dapat pinjaman di koperasi, yayasan, bank A, bank B, bank C, dan hidupnya mengandalkan “kartu kredit”.
Bahkan “mengoreng struk gaji”, artinya sebenarnya gaji yang di bawa pulang ke rumah sudah minim, “dibuat” seakan masih utuh tidak ada potongan. Akibatnya gaji semakin minus, dan struk gaji bikin stres dan “stroke” beneran. Semoga kita terhindar dari model beginian, sehingga bisa menikmati hidup semakin hidup.
Yogyakarta, 27 April 2018 pukul 21.06