Berbicara masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terbersit dalam benak adalah hak cipta. Hal ini tidak salah karena hak cipta itu salah satu bagian dari HAKI. Karya intelektual ini perlu mendapat perlindungan hukum karena menyangkut olah pikir manusia, untuk mewujudkannya dengan mengorbankan waktu, tenaga, emosi, biaya, dan perasaan.
Hak Cipta yang awalnya disebut “hak pengarang” (author right), sehingga ada Undang-undang hak pengarang 1912 (Auteursweet 1912). Setelah Indonesia merdeka memiliki Undang-undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982, dengan maksud untuk mendorong, melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Undang-undang No.6 Tahun 1982 telah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, teknologi informasi dan komunikasi, yaitu UU No.7 Tahun 1987, Undang-undang No. 12 Tahun 1997, Undang-undang No.19 Tahun 2002, dan terakhir UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 1 UU No.28 Tahun 2014 Hak Cipta adalah:”adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedang Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”.
Masalahnya Hak Cipta sebagai hak eksklusif (khusus) yang mengandung hak moral dan ekonomi di Indonesia terjadi pelanggaran yang masif akibat penegakan hukum kurang konsisten dan tebang pilih. Disisi lain pemilik hak cipta itu sendiri tidak memahami/tidak sadar bila karya ciptaannya mendapat perlindungan hukum.
Untuk mendapatakna perlindungan hukum, hak cipta tidak perlu didaftarkan. Inilah yang membedakan dengan hak intelektual lainnya seperti merek, paten, design industri dan lainnya. Ketika karya tulis sudah tercipta, pada saat itulah hak cipta itu mendapatkan perlindungan secara hukum. Artinya ketika ada yang melakukan pelanggaran, karya cipta itu dapat menjadi bukti di persidangan.
Karya cipta yang dilindungi sesuai pasal 40 UU No.28 Tahun 2018 diantaranya buku, pamflet, karya tulis, ceramah, kuliah, pidato, lagu, drama, karya seni, batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, permainan video, dan program komputer.
Pencipta mempunyai perlindungan selama hidupnya, plus 70 (tujuh puluh) tahun setelah meninggal dunia. Ada yang masa perlindungannya 50 tahun, dan 25 tahun, tergantung dari jenis karya ciptanya. Hal ini yang menjadi pembeda dengan Undang-undang Hak Cipta sebelumnya, yang masa perlindungannya sampai 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Bila pencipta lebih dari seorang, maka perlindungan hukum dihitung setelah meninggalnya pencipta terakhir..
Indonesia menjadi anggota Agreement Establishing the World Trade (Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIP’s dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Selain itu Indonesia telah meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) dengan Keputusan Presiden No.18 Tahun 1997. Selain itu masuk dalam World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), yang disebut WCT.
Masuknya Indonesia sebagai anggota badan dunia tentang hak cipta, menimbulkan konsekwensi untuk menerapkan hak cipta dalam perundang-undanganya. Artinya aturan main dan sanksi yang ada dalam UU No.28 Tahun 2014 harus diterapkan dengan tegas tanpa pandang bulu. Hal ini untuk menciptakan suasana/iklim persaingan yang kondusif, agar tidak terjadi “kelesuan energi/lesu darah” dalam membuat karya-karya intelektual.