Emansipasi yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini sangat dirasakan oleh wanita di Indonesia, sehingga mempunyai persamaan hak, sejajar dengan laki-laki. Wanita mempunyai kodrat mengandung, melahirkan, menyusui yang tidak bisa digantikan oleh lawan jenisnya. Sosok wanita memang mempunyai peran “multitasking”, menjalankan pekerjaan dalam waktu yang bersamaan.
Sebagai ibu rumah tangga dengan seabrek pekerjaan ke”rumah tanggaan”an yang jam kerjanya melebihi jam kantor. Profesi ibu rumah tangga tidak bisa disepelekan, mulai sebelum Subuh sampai tengah malam, ada saja pekerjaan yang dilakukan. Apalagi kalau anak-anaknya masih batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun).
Semakin bertambah beban bila wanita sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karier, peran ganda harus dijalani secara bersamaan antara domain domestik dan publik. Semua perlu perhatian, urusan rumah tangga tidak bisa dilepaskan begitu saja pada asisten rumah tangga (ART).
Apalagi saat ini mencari ART yang mempunyai niat kerja dengan jujur, berkomitmen, telaten, sabar, bertanggung jawab sangat sulit. Gangguan handphone sudah tidak bisa dihindarkan lagi, ART remaja persoalan semakin komplek, yang berpotensi ganti-ganti ART menjadi persoalan tersendiri.
Wanita sebagai PNS/ASN yang mendapat tunjangan kinerja (tukin) tuntutannya semakin tinggi untuk meningkatkan kinerja dan profesioalisme. Minimal jam kerja harus ditaati, disiplin, selama 9 (sembilan) jam, waktunya dihabiskan di tempat kerja. Tekanan, tuntutan, persoalan di rumah dan di tempat kerja bila tidak disikapi dengan sabar, ikhlas, niat ibadah, semangat, sangat berpotensi menimbulkan “stres”, dan sakit. Kondisi ini semakin membuat lingkungan, suasana di rumah dan di kantor menjadi tidak nyaman dan tidak menyenangkan.
Baca Juga:Tunjangan Kinerja Apa Dampaknya ?
Khususnya lingkungan kerja di kantor, suasana hati di rumah yang tidak nyaman, sedih bila “terbawa” di ruangan kerja dapat berpengaruh dengan teman-teman kantor. Akibatnya lingkungan kerja menjadi tidak kondusif untuk bekerja secara optimal, sehingga pimpinan perlu tanggap dengan suasana batin bawahan. Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial, psikologis, dan fisik dalam perkantoran yang berpengaruh terhadap pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Lingkungan kerja yang kondusif, nyaman, aman, menyenangkan, baik secara sosial, psikologi, dan fisik membuat pegawai betah, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja. Lingkungan sosial, dalam interaksi sesama pegawai dengan sikap, perilaku, watak, karakter yang berbeda-beda tiap pegawai.
Lingkungan psikologi mempengaruhi hubungan sosial (beban kerja, ketidak adilan, pengawasan buruk, frustasi, perubahan jenis pekerjaan, konflik pribadi dan kelompok).Sedang lingkungan fisik berkaitan dengan sarana prasarana kantor (lampu, AC, meja kusi kerja, ventilasi udara, komputer, mushola, kantin, toilet, dan lain-lain).
Menrut Everett Hagen dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:7) dikatakan:” ada kecenderungan sebagian besar SDM masih memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang kurang baik (sifat iri hati, dengki, benci, sakit hati, dendam, minder, mudah depresi, mudah marah, tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling menjatuhkan kawan sekerja dan menfitnah rekan sendiri”.