Terjadilah persaingan tidak sehat, dengan berbagai cara menyebar fitnah, gosip, hoaks, ghibah, memutar balikkan informasi, mendebat, ingin menjatuhkan dengan memberi pengaruh kepada teman dan pimpinan.
Sosok wanita kalau posisi sebagai bawahan selalu membuat kegaduhan, keributan, suasana tidak tenang, kurang puas, tidak mensyukuri, merasa kurang, menuntut tanpa pernah meningkatkan kinerja. Bekerja tidak ikhlas selalu mengharapkan “nilai rupiah” ketika diminta kerja tambahan di dalam jam kerja. Membuat laporan “palsu” Asal Bapak Senang (ABS), dan Asal Ibu Senang (AIS) kepada pimpinan, semua dilakukan untuk menutupi kekurangnnya dan kualitas kinerja yang rendah.
Bila posisinya sejajar, sering “mencuri” ide temannya diakui sebagai idenya sendiri biar mendapat apresiasi atasan, isi hatinya “jahat”, seperti buah kedondong (diluar halus, di dalam berduri), licik dan pandai bersilat lidah, menjatuhkan/menusuk teman dari belakang dengan “memperalat pimpinan”.
Tindakan ini untuk mengelabuhi ketidakjujuran, perilaku buruknya, agar tidak terdengar oleh pimpinan. Pegawai bermasalah ini biasanya mempunyai “hutang” banyak, karena pola hidup yang ingin di “WAH” kan/dianggap hebat, kaya, sejatinya dari utangan, gali lubang tutup lubang, dikejar-kejar bank, dan rentenir.
Namun pegawai wanita yang mendapat kesempatan sebagai pimpinan lebih “sadis” dalam menerapkan aturan kaku, kejam (lebih kejam dari ibu tiri), tidak bijaksana, “hilang keibuannya”, berlaku tidak adil. Apalagi bila ada pegawai perempuan yang melebihi dalam hal prestasi, harta, keluarga, pangkat semakin tidak mempunyai hati nurani, tega “membunuh” karier bawahannya, supaya tidak melaju melebihi posisinya. Sungguh pimpinan yang tidak mempunyai perasaan dan tidak menghargai “proses” meniti karier itu dengan perjuangan dan air mata.
Sosok Kartini di lingkungan kerja diakui tidak semuanya memiliki karakter tersebut, karena yakin masih ada yang mempunyai hati nurani, keibuan, tegas, disiplin, cerdas, budi pekerti luhur dan karakter yang baik. Namun kenyataan yang tidak terbantahkan di semua lini perkantoran dan/perusahaan pasti menemukan sosok dengan karakter buruk.
Kondisi ini membuat lingkungan kerja tidak kondusif karena modelnya menginjak bawahan, menyikut kanan kiri, dan menjilat atasan. Aura batiniah yang penuh ego dan ambisius memancarkan wajah “monster” yang menakutkan dan menjijikkan.
Kalau sudah begini bikin “baper”, bagi orang-orang yang kurang semangat , motivasi rendah dan cepat putus asa. Jalan pahitpun ditempuh pindah kerja atau “menarik diri/resign” dari lingkungan kerja yang “konyol” itu, karena dapat menganggu kesehatan (fisik, psikis, sosial). Namun bagi yang kuat, tahan banting, bersemangat tinggi, tetap bertahan dan melawan gosip, fitnah, hoaks, dengan “prestasi”.
Baca Juga:Teori Bola Bila Ditekan Keras Justru Melejit ke Angkasa
Namun prestasi itu justru membuat pimpinan perempuan semakin “nafsu” untuk membinasakan bawahannya karena mendapat apresiasi pimpinan tertinggi lembaga. Memang aneh, lingkungan kerja yang banyak sosok Kartini namun “peradabannya” justru mundur kebelakang. Sangat disayangkan cita-cita Kartini disalahgunakan dan dinodai oleh “oknum” yang tidak bertanggungjawab.
Yogyakarta, 20 April 2018 pukuk 11.07