Melaksanakan kewajiban memenuhi “panggilan” ke tanah suci Mekkah, sejatinya hanya diperuntukkan bagi umat Islam yang mampu secara finansial, sehat (jasmani dan rohani), dan aman dalam perjalanan. Artinya kewajiban itu tidak diperuntukkan bagi yang belum mampu baik finansial maupun kesehatannya. Sebelum tahun 2007, mendaftar langsung berangkat pada tahun yang sama, tidak ada waktu tunggu, bahkan ada yang berkali-kali berangkat tidak dibatasi untuk pergi haji lagi asal ada biaya.
Kalau ada niat dan belum mempunyai uang dengan sabar menabung sedikit demi sedikit setelah terkumpul sebesar Rp 20.000.000,-, langsung mendaftar. Kekurangan dilunasi setelah ada pengumuman dari pemerintah tentang besarnya ongkos naik haji. Pergi haji benar-benar perlu persiapan lahir batin, ilmu agama, bukan sekedar dapat membayar ONH. Menata hati dan “meluruskan niat” fokus untuk memenuhi panggilanNya ziarah ke Tanah Suci Mekah. Bukan sekedar “wisata rohani/religi”, “prestige”, apalagi untuk mendapatkan sebutan “haji/hajjah” dan status sosial. Setelah kembali ke Tanah Air ada perubahan sikap, perilaku, tutur kata dan perbuatan, dapat menjadi teladan bagi lingkungannya.
Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan umat Islam (guru dan dosen mendapat sertifikasi, PNS mendapat tunjangan kinerja) dan “dana talangan” dari bank, terjadilah “ledakan” pendaftaran haji. Akibatnya antara pendaftar dan kuota yang tidak seimbang, menyebabkan terjadi antrian panjang untuk pergi melaksanakan rukum Islam ke-5. Pengurangan kuota karena perluasan di Masjidil Haram, semakin menambah daftar tunggu/”waiting list” panjang dan lama.
Kuota jamaah haji yang relatif sama dari tahun ke tahun yaitu kisaran 221.000 orang, sementara yang daftar sudah mencapai 3.311.617 orang (www.data.kemenag.go.id), membuat calon jamaah perlu bersabar. Ritual pelaksanaan ibadah haji hanya setahun sekali tiap bulan Dzulhijjah, mengakibatkan untuk impian berziarah ke Mekah harus tertunda sampai 2055, seperti di Sulawesi Selatan, artinya daftar tahun 2018 dalam usia 17 tahun, baru berangkat haji tahun 2073, usia sudah 54 tahun, padahal ritual haji perlu sehat jasmani dan rohani.
Baca Juga: Kenaikan ONH dan Peningkatan Pelayanan
Masa tunggu yang terlalu lama, mendorong umat Islam melaksanakan ibadah umrah terlebih dahulu, walau belum mendaftar haji. Animo umat Islam yang tinggi untuk melaksanakan ibadah umrah membuka peluang bagi biro perjalanan tour and travel untuk menfasilitasi perjalanan umrah sekaligus wisata religi. Bermodal pengalaman mengurus perjalanan ke luar negeri, mempunyai kantor, terdaftar dan ada ijin dari Kemenag, ada NPWP, ada jejaring di maskapai, bank, imigrasi, hotel, dapat mendirikan biro perjalanan umroh dan rekreasi rohani ke negara-negara di sekitar jazirah Arab (Mesir, Kuwait, Oman, Bahrain, Palestina).
Ibadah umrah bermakna ziarah, berkunjung ke Ka’bah untuk menjalankan ritual dengan memakai baju ihram dan niat dari miqat (batas dimulainya ibadah umrah), untuk melaksanakan ritual tawaf dan sai. Tawaf adalah berjalan mengelilingi Ka'bah tujuh kali (arahnya berlawanan dengan arah jarum jam) dan sa'i (berlari-lari kecil) antara Shofa dan Marwah, sebanyak tujuh (7) kali, dan diakhiri dengan tahallul (bercukur/memotong rambut).
Umrah ini disebut haji kecil, karena sebagai salah satu ritual dalam melaksanakan ibadah haji. Jadi orang yang sudah umrah belum menggugurkan kewajiban untuk ibadah haji. Mengingat ibadah haji itu melakukan ritual berkumpul di padang Arofah, mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina serta melempar jumrah di jumarat Aqobah, Ula dan Wustha.
Pangsa pasar yang “menggiurkan” ini dimanfaatkan penyelenggara biro umroh dan travel. Dalam waktu singkat bermunculan biro perjalanan umroh seperti cendawan di musim hujan. Gayungpun bersambut orang-orang sudah mempunyai bekal finansial berbondong-bondong mendaftar umrah. Pundi-pundi riyal, dolar, rupiah pun cepat terkumpul, namun semakin menjamurnya biro perjalanan umrah persaingan semakin ketat.
Jurus-jurus promosi dengan berbagai fasilitas dan “iming-iming” memasang harga dibawah standar. Tidak tanggung-tanggung dalam waktu singkat pendaftar mencapai 75.000 orang, yang awalnya semua berjalan lancar dan normal.
Namun “niat baik” untuk menfasilitasi umat Islam pergi ke Tanah Suci, berubah menjadi “niat tidak baik (bukan “jahat”), dan ada“kesempatan”, terjadilah teori N (niat) plus K (kesempatan) menjadi “tindak kejahatan”, untuk “menyelewengkan” dana yang sudah terkumpul.