Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjalanan Karier dan Profesinya Telah "Dibunuh"

24 April 2018   18:25 Diperbarui: 25 April 2018   16:25 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia kerja PNS ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati dan diperhatikan oleh semua PNS, karena mengandung kewajiban dan hak. Bila peraturan dan prosedur ditaati oleh para pihak, akan memberikan dampak pada PNS dan lembaga, suasana kerja nyaman, tenteram, menyenangkan dan dampaknya kinerja meningkat. Sebaliknya, kalau peraturan itu dilanggar, apalagi “sengaja” dikaburkan (karena alasan subyektif), maka yang dirugikan pertama kali adalah PNS. Hubungan kerja yang tidak harmonis karena pimpinan tidak adil, egois, mengganggap orang berprestasi adalah rival, yang harus disingkirkan, ini sangat merugikan PNS yang berdampak pada lembaga.

Naik jabatan/pangkat adalah hak setiap PNS, setelah memenuhi kewajiban dan syarat yang ditentukan. Namun hal ini sering membuat PNS “trauma” bukan masalah syarat dan ketentuan, tetapi dari pihak bagian kepegawaian yang sering membuat para PNS menjadi apatis dengan masalah jabatan/pangkat. “Merasa” sebagai penentu kebijakan yang kewenangannya melebihi pimpinan dalam hal peraturan kepegawaian, sehingga membuat argumen yang tidak berpihak pada PNS. Akibatnya PNS dirugikan moril, material, tenaga, waktu, dan perasaan marah, kecewa, sedih, namun tidak bisa berbuat banyak, kecuali berdoa, pasrah dan tawakal.

Untuk pegawai yang menduduki jabatan fungsional (dosen, guru, dokter, apoteker, pustakawan, dll) harus memenuhi angka kredit. Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang, sedang pangkat berarti kedudukan berdasakan tingkat kesulitan, syarat kualifikasi untuk menentukan dasar penggajian. Jadi berbeda dengan jabatan struktural, tiap 4 (empat) tahun dapat naik pangkat tanpa harus mengumpulkan angka kredit.

Menduduki jabatan fungsional adalah pilihan dengan segala resiko yang harus ditanggung (diberhentikan sementara, atau tetap bila tidak dapat mengumpulkan angka kredit), perlu perjuangan, pengorbanan, semangat, tekad, yang penuh dengan tantangan dan hambatan. Bahkan sering “baper/bawa perasaan”, dan tetesan air mata karena mendengar “suara-suara yang menyakitkan”.

Namun ketika sudah memenuhi angka kredit yang dibutuhkan,  tim penilai sidang secara berjenjang (bikin peraturan tidak tertulis berlaku di internal) yang bertentangan dengan peraturan resmi dan sah. Ketika ada yang bertanya, dijawab karena “otonom”, jadi bisa membuat peraturan internal. Membuat peraturan sendiri, demi “nama baik” lembaga, kalau berkas sampai Jakarta (pusat) dikembalikan karena nilainya kurang, karya tulis "tidak layak", sehingga bolak balik menambah waktu. Alasan ini seakan pro pegawai, namun sejatinya peraturan itu disengaja untuk “memperpanjang” waktu, agar PNS tersebut tidak melaju cepat naik jabatan/pangkat.

Diperlakukan tidak adil, ketika mengurus kenaikan jabatan/pangkat PNS selalu mengalah, diam, menerima nasib, pasrah, berserah diri, sabar, dan berdoa. Kalaupun dari tim penilai sudah tidak ada kendala, bagian kepegawaian masih berpotensi merugikan PNS, misalnya SK terlambat, berkas hilang, terselip, salah ketik, menafsirkan peraturan berbeda. Masalah semakin kompleks bila ada unsur subyektif dari "oknum" bagian kepegawaian dengan PNS yang mengurus kenaikan jabatan/pangkat.

Walau sudah ada Standard Operating System (SOP), ada estimasi waktu dan prosedur yang jelas, semua bisa dibaikan demi ambisi untuk menghentikan proses kenaikan pangkat/jabatan orang yang menjadi “rivalnya”. Ini kejadian riil, nyata, dan sering terjadi diberbagai lembaga, karena ada “bisikan setan” walau sudah mengucapkan sumpah untuk memenuhi kewajiban dengan seadil-adilnya dan selurus-lurusnya, ketika mendapat amanah mengurus karier orang lain, namun dengan mudah dilupakan. Akibatnya pegawai yang mengurus kenaikan jabatan/pangkat gagal mendapatkan haknya, walau sudah memenuhi syarat dan kewajiban. Bahkan diminta “legowo (Bhs Jawa)”/ikhlas untuk pensiun. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab ?. Bagian kepegawaian, mencari kambing “coklat” peraturan disalahkan, bahkan pegawai disalahkan karena terlambat menyampaikan berkas. Memang “lidah tidak bertulang”, jadi dengan mudahnya membolak-balikkan perkataan, agar alibinya bisa masuk akal dan diterima oleh pimpinan.

"Okknum" itu pun sibuk meloby kesana kemari di lembaga-lembaga terkait, agar pegawai itu diganjal dengan mencarikan dasar hukum yang dipaksakan dan dikeluarkan peraturan larangan mengajukan jabatan itu karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Biar kelihatan konstitusional dan tidak ada celah untuk melakukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), semua pintu ditutup rapat-rapat. Bahkan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) yang di website sudah mengumumkan pegawai itu telah menduduki jabatan tertinggi dalam profesinya, agar mencabut. Loby berjalan sempurna dan hasilnya pegawai gagal mendapatkan jabatan tertinggi dan bergengsi. Pegawai hanya bisa “gigit” jari, dan "terpaksa"  menerima "kekalahan" yang menyakitkan hati, kecewa, marah, dan sedih.

"Oknum" itu pinjam tangan dan "mulut" pimpinan, untuk "membujuk" agar pegawai "dirumahkan", dengan kata-kata maut sedemikain rupa mermuji, dengan santun, halus, bernuansa agamamis, terorganisir, terstruktur dan konstitusional. Semua akal bulusnya itu dilakukan demi kedudukan di kursi empuk, nama baik institusi, agar disebut sebagai pahlawan yang menyelamatkan kedudukan "big bos". Padahal sejatinya agar "kedok" keculasannya membunuh karier dan profesi rivalnya tidak terbongkar. Kekejian pembunuh berdarah dingin ini cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga, bangkai yang busuk pasti akan menyebarkan aroma tidak sedap. Orang yang tidak berdosa, lurus, jujur, berprestasi telah “didzolimi”, padahal doa orang yang teraniaya akan langsung di dengarkan oleh Alloh SWT, Tuhan Seru Sekalian Alam.

"Pembunuh" karier dan profesi rival hidupnya tidak akan tenang walau duduk di kursi empuk, dikelilingi kekuasaan, kesejahteraan jasmani. Ruangan ber AC terasa panas karena jiwa dan hati "sakit" dengki, iri, dengan kesuksesan rivalnya. Aura negatifnya berupa ketamakan, nafsu angkara murka, terpancar dari tutur katanya, sikap, perilaku, dan raut wajahnya yang sadis, jahat, tidak berperikeadilan dan perikemanusiaan. Semoga dibukakan jalan kebenaran dan pintu maaf walau itu terlambat. Inilah kekalahan yang hakiki, hidupnya tidak tenang, tidak aman dan tidak nyaman karena tindakannya sendiri, yang imbasnya sampai anak cucu.

Yogyakarta, 24 April 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun