Permendiknas N0.25 Tahn 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah, menjadi dasar alasan kenapa tidak mengangkat pustakawan untuk sekolah. Padahal Indonesia sudah ada UU No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, bahwa ada standar nasional untuk tenaga perpustakaan.Â
Menurut UU No.43 Tahun 2007 yuncto PP No 24 tahun 2014  pustakawan minimum harus memiliki kualifikasi D2 ilmu perpustakaan dan  informasi atau D2 bidang lain yang telah mengikuti diklat dari Perpustakaan Nasional RI. Permendiknas No.25 Tahun 2008 yang secara hierarki lebih rendah kedudukannya dengan UU dan Peraturan Pemerintah semestinya harus ditinjau kembali, atau dicabut.
Dalam Permendiknas No.25 Tahun 2008 menekankan bahwa kepala perpustakaan sekolah/madrasah diangkat dari jalur pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (tendik). Syarat untuk jalur pendidik minimal  D4 atau S1, sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah, pengalaman kerja minimum 3 tahun. Bila dari tendik syaratnya minimum D2 ilmu perpustakaan dan informasi atau D2 bidang lain dengan sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan, masa kerja miminal 4 tahun.
Tenaga perpustakaan minimum berijasah SMA/sederajat yang bersertifikasi perpustakaan. Kondisi inilah yang menyebabkan perpustakaan sekolah memprihatinkan, akibat dikelola oleh orang-orang yang bukan bidangnya, dan kesannya dipaksakan. Apalagi lulusan SMA, walaupun mempunyai sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan. Para lulusan D2 bidang lain pun menjadi perdebatan para akademisi di perguruan tinggi yang memiliki program studi imu perpustakaan, apalagi lulusan SMA/sederajat.Â
Pustakawan sekolah disatu sisi dibutuhkan, namun disisi lain sangat lemah posisi tawarnya dengan guru. Kalaupun di perpustakaan sekolah ada pustakawan, statusnya masih honorer dengan upah/gaji sangat jauh dibawah upah minimum regional. Bukan hal yang aneh dan miris kalau pustakawan minimum lulusan D2 ilmu perpustakaan dan informasi mendapat upah sebesar Rp 100.000,- sampai Rp 250.000,-.
Padahal kinerja itu bisa naik salah satu tolok ukurnya dari apresiasi berupa materi (upah/gaji) dan non materi (dihargai sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat). Kalau demikian kapan perpustakaan sekolah dapat maju seperti perpustakaan sekolah di negara tetangga yang dulu belajar dari Indonesia? Semoga para pimpinan yang bersinggungan dengan perpustakaan sekolah terbuka "hati nurani"nya untuk memikirkan kondisi ini yang memprihatinkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H