Kehadirannya dirasa sungguh tiba-tiba. Diujung malam tanpa pertanda. Ketukan yang  diletupkan pada pintu bagaikan desingan peluru di medan pertempuran. Menggetarkan gendang telinga, menyobek keheningan, mengagetkan penghuni rumah.
"Rusmini..."
Yang dipanggil tersentak. Tak hanya sekali nama itu disuarakan. Bak menagih utang. Segera beranjak. Bunyi pijakan dilantai tanah memberi isyarat buat si pemanggil agar menyudahi pukulan pada papan pintu.Â
Derit engsel menyibak. Dihadapannya berdiri sosok ganjil. Tampilannya sungguh miskin. Menyandang bedil, granat nanas, untaian peluru dengan ransel berwarna hijau kumal penuh lubang.
"Bung siapa?"
Serdadu itu enggan menjawab. Ia masih menatap tajam wajah perempuan pemilik rumah.
"Tidakkah aku kau persilahkan duduk, Rus?"
Perempuan itu kian bingung. Sulit mengerti, siapa pria ini? yang dengan beraninya memanggil namanya. Isyarat ia lemparkan, disuruhnya lelaki itu masuk. Serdadu itu letakkan ransel, sebelum tubuh terhempas dikursi. Napasnya berat, seberat medan laga di kawah pertempuran.
"Lupakah kau padaku?"
Perempuan yang dipanggil Rusmini dipaksa mengencangkan pikir. Perempuan muda itu sulit mengerti, kenapa memorinya jadi beku. Siapa serdadu busuk ini?
 "Aku Bardja"
Rusmini terperanjat. Tangannya menutup bibir. Sebuah hantaman menyasar kuat. Labirin pikirannya terkuak.
"Apa yang terjadi denganmu? Ragamu sangat berubah. Apakah hal buruk menimpamu?". Rusmini berdoa jangan ada prahara malam ini.
"Keadaan memang sungguh sulit. Dan itu belum berakhir. Perang telah merubah segalanya. Revolusi ini adalah penjara. Ada syarat agar kita semua lepas dari keadaan ini. Bagaimana hidupmu?"
"Ibuuu...." Suara anak kecil dari dalam bilik kamar sangat mengagetkan.
"Kamu....". Raut wajah Bardja muram. Suara anak itu menjadi deret hitung. Rekan-rekannya, satu persatu terampas oleh terjangan peluru, Â cekikan ranjau, sergapan mendadak, hantaman moncong tank, duel satu lawan satu. Dan malam ini, Â kembali ada yang terampas.
Rusmini mengangguk sedih. "Jaman tidak selalu berpihak bagi setiap manusia. Termasuk kita. Maafkan aku"
Gumpalan sekepal batu menutup dada serdadu perang. Sesak. Harapannya runtuh.
"Anakmu..." Bardja memberi isyarat agar Rusmini menengok kedalam.
"Tidak apa-apa. Dia memang kerap mengigau. Suara tembakan beserta dentuman meriam membuatnya ketakutan"
Hening mengapung. Bardja tepekur. Entah apa yang dia rasa saat ini. Pertempuran-pertempuran yang ia jalani ternyata bukan jaminan agar dunia seperti harapannya.
"Aku buatkan minum dulu"
"Tidak usah. Aku akan segera pergi"
"Istirahatlah. Kamu lelah. Jangan..."
"Aku sudah biasa. Sangat paham", ia sergap kalimat basa-basi itu. Secepat geraknya membunuh lawan.
Rusmini katupkan kedua tangan. Tubuhnya mengerut. Jengah. Ada bahasa kesedihan didua matanya.
Bardja bangkit. Percuma berlama-lama disini. Pintu sudah terbuka lebar sejak tadi. Menunggu dirinya untuk segera keluar.
"Bardja...." Rusmini berusaha menahannya. Sayang, kalah gesit.
"Selamat malam" Tanpa menoleh, tanpa menjabat tangan, ia melangkah gontai. Perasaannya campur aduk. Bedil dipanggul menembus malam. Uniformnya lusuh penuh daki dan darah kering. Lencana kebanggaannya ia simpan kembali. Karat menempel secara tiba-tiba.
Diatas, kubah langit nirbintang. Awan menggantung ditingkahi celorot guntur. Rerintik tiba-tiba menghujam, menyebabkan distorsi disetiap benda yang tertimpa. Cairan langit memperburuk tampilan, tapi menghalau ketersesakan.
Mata Rusmini mengikuti langkah serdadu republik itu. Perasaan bersalah  menempel. Ia berusaha menekan. Ia tahu, Tuhan telah menorehkan takdirnya untuk masalah apapun. Semua akan baik-baik saja?
Pertempuran-pertempuran apalagi yang akan Bardja hadapi. Rusmini bergumam, malam ini menyakinkannya, bahwa setiap manusia sudah memegang kunci hidup masing-masing. Mengutuk tidak akan merubah keadaan, walau dirasa tidak adil.[**]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H