"Aku buatkan minum dulu"
"Tidak usah. Aku akan segera pergi"
"Istirahatlah. Kamu lelah. Jangan..."
"Aku sudah biasa. Sangat paham", ia sergap kalimat basa-basi itu. Secepat geraknya membunuh lawan.
Rusmini katupkan kedua tangan. Tubuhnya mengerut. Jengah. Ada bahasa kesedihan didua matanya.
Bardja bangkit. Percuma berlama-lama disini. Pintu sudah terbuka lebar sejak tadi. Menunggu dirinya untuk segera keluar.
"Bardja...." Rusmini berusaha menahannya. Sayang, kalah gesit.
"Selamat malam" Tanpa menoleh, tanpa menjabat tangan, ia melangkah gontai. Perasaannya campur aduk. Bedil dipanggul menembus malam. Uniformnya lusuh penuh daki dan darah kering. Lencana kebanggaannya ia simpan kembali. Karat menempel secara tiba-tiba.
Diatas, kubah langit nirbintang. Awan menggantung ditingkahi celorot guntur. Rerintik tiba-tiba menghujam, menyebabkan distorsi disetiap benda yang tertimpa. Cairan langit memperburuk tampilan, tapi menghalau ketersesakan.
Mata Rusmini mengikuti langkah serdadu republik itu. Perasaan bersalah  menempel. Ia berusaha menekan. Ia tahu, Tuhan telah menorehkan takdirnya untuk masalah apapun. Semua akan baik-baik saja?
Pertempuran-pertempuran apalagi yang akan Bardja hadapi. Rusmini bergumam, malam ini menyakinkannya, bahwa setiap manusia sudah memegang kunci hidup masing-masing. Mengutuk tidak akan merubah keadaan, walau dirasa tidak adil.[**]