"Aku Bardja"
Rusmini terperanjat. Tangannya menutup bibir. Sebuah hantaman menyasar kuat. Labirin pikirannya terkuak.
"Apa yang terjadi denganmu? Ragamu sangat berubah. Apakah hal buruk menimpamu?". Rusmini berdoa jangan ada prahara malam ini.
"Keadaan memang sungguh sulit. Dan itu belum berakhir. Perang telah merubah segalanya. Revolusi ini adalah penjara. Ada syarat agar kita semua lepas dari keadaan ini. Bagaimana hidupmu?"
"Ibuuu...." Suara anak kecil dari dalam bilik kamar sangat mengagetkan.
"Kamu....". Raut wajah Bardja muram. Suara anak itu menjadi deret hitung. Rekan-rekannya, satu persatu terampas oleh terjangan peluru, Â cekikan ranjau, sergapan mendadak, hantaman moncong tank, duel satu lawan satu. Dan malam ini, Â kembali ada yang terampas.
Rusmini mengangguk sedih. "Jaman tidak selalu berpihak bagi setiap manusia. Termasuk kita. Maafkan aku"
Gumpalan sekepal batu menutup dada serdadu perang. Sesak. Harapannya runtuh.
"Anakmu..." Bardja memberi isyarat agar Rusmini menengok kedalam.
"Tidak apa-apa. Dia memang kerap mengigau. Suara tembakan beserta dentuman meriam membuatnya ketakutan"
Hening mengapung. Bardja tepekur. Entah apa yang dia rasa saat ini. Pertempuran-pertempuran yang ia jalani ternyata bukan jaminan agar dunia seperti harapannya.